Hidup memerlukan rezeki untuk terus bertahan. Rezeki berupa uang, makanan, dan lainnya. Maka, orang hidup pun bertugas mencari rezeki.
Rezeki dicari dengan banyak cara. Ada yang mencari rezeki dengan landai-landai saja. Artinya, tidak terlalu berburu luar biasa. Dapat sedikit bersyukur, dapat banyak bersyukur.
Mereka yang landai-landai saja ini biasanya adalah mereka yang santai saja menghadapi hidup. Masalah bagi mereka adalah hal yang harus dihadapi dengan segala risiko. Mereka menganggap ya hidup dijalani saja.
Ada juga yang mencari rezeki dengan pontang-panting karena kebutuhan hidup makin membengkak. Akhirnya kerja dalam sehari lebih dari 8 jam. Ibaratnya kaki dibuat kepala, kepala dibuat kaki. Mencari rezeki seperti itu juga untuk anak dan istri di rumah.
Apalagi di masa sulit seperti ini, mereka yang pontang-panting pun semakin banyak. Sebab, sumber rezeki mereka yang biasanya sudah tertutup karena Covid-19. Akhirnya berupaya mencari kesempatan yang lain sebagai sumber rezeki.
Ada juga mencari rezeki dengan membuat kontroversi. Sesuatu yang sudah lama sebenarnya. Jadi, membuat kontroversi agar jadi pembicaraan banyak orang. Dari pembicaraan banyak orang itu, rezeki mengalir karena jadi buruan pengiklan.
Atau setidaknya, dengan kontroversi, si orang ini makin terkenal. Ketika makin terkenal, maka potensi mendapatkan rezeki akan lebih terbuka lebar. Dengan terkenal, maka bisa "menjajakan diri" dengan lebih baik. Menjajakan diri ini tentu bukan dalam konteks negatif.
Maka saya pun tak heran jika ada artis yang karyanya tak jelas. Tapi hanya membuat kontroversi agar selalu jadi perhatian dan laku di industri selebritas. Misalnya, akting tidak bagus, nyanyi suara tak bagus, jadi presenter kelihatan kurang on, dan sebagainya.
Sepertinya, memang makin banyak saja yang mencari rezeki dengan kontroversi. Ada yang membuat konten kontroversial agar videonya mengeruk banyak pemirsa. Ada juga yang mengemukakan pernyataan kontroversial yang berujung pada popularitas.
Dari yang kontroversial itu, kemudian ada reaksi publik. Ketika reaksi publik melimpah dan kenegatifan, maka ada dua pilihan. Ada dari mereka yang kontroversial itu meminta maaf. Namun, ada juga yang terus berlalu dengan segala konsekuensinya.
Sebenarnya saya juga tak mau urusan bagaimana orang mencari rezeki. Itu hak masing-masing orang dan ada konsekuensi yang bakal didapatkan. Kalau menebar benih buruk, ya hasilnya kemungkinan buruk. Kalau menebar benih bagus, ya hasilnya kemungkinan bagus.
Saya tak mau terlalu urusan dengan cara orang mencari rezeki. Tapi, saya menjadi terseret untuk ikut nimbrung ketika anak-anak kecil tervirusi kenegatifan atau kontroversi yang seperti dimaafkan.
Misalnya begini, lewat layar televisi. Ada yang membuat video video yang memperlihatkan musibah yang dialami seseorang. Lalu, dari musibah itu direspons dengan tertawa. Anak-anak pun yang melihat TV ikut menertawai musibah yang dialami orang.
Apalagi jika lewat telepon genggam. Melihat aksi tipu-tipu yang menyayat perasaan orang didefinisikan sebagai hiburan. Aksi seperti itu akan masuk dalam memori anak-anak. Anak-anak kemudian memiliki memori bahwa menyayat hati orang adalah sebuah hiburan.
Jika fenomena ini terus menggunung, saya khawatir akan muncul generasi yang apatis. Generasi yang tak menghargai kemanusiaan orang lain. Ketika anak-anak kita makin dewasa, makin susah dikendalikan. Makin repotlah kita semua.
Tapi di sisi lain, memaksa orang agar tidak mencari rezeki dengan kontroversi juga tak mungkin. Apalagi, jika peraturan negara tak melulu melarang mencari nafkah dengan kontroversi.
Kalau kita tak bisa memaksa cara orang mencari rezeki, sementara cara mereka berpotensi merusak masa depan anak kita, lalu kita bagaimana? Saya tak tahu jawaban komprehensifnya bagaimana.
Namun, saya hanya bisa bilang bahwa kampanye mencari rezeki yang sehat terus digalakkan. Digalakkan dengan cara kita, digalakkan dengan tulisan kita, digalakkan pada anak didik kita, digalakkan pada anak kita. Kita bicarakan efek negatif yang bisa merongrong kehidupan kita.
Pertarungannya kemudian hanya di tingkat kampanye. Kampanye mencari rezeki yang sehat, yang tak henti kita lakukan. Kampanye demi kemanusiaan dalam perspektif kita. Hanya itu saja mungkin. Jika pun tak sepakat tak apa karena masing-masing kita merdeka menentukan hidup kita. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H