Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mungkin Lebaran Tahun Ini Banjir Tangisan

21 Mei 2020   07:07 Diperbarui: 21 Mei 2020   07:06 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Dusun Sorobayan Desa Banyuurip Kecamatan Tegalrejo Kabupaten Magelang saling bersalaman dalam tradisi ujung pada Hari Raya Idul Fitri 1439H, Jumat (15/6/2018).(KOMPAS.com/IKA FITRIANA )

Lebaran atau idulfitri sebentar lagi. Bagi saya di masa kecil, saat-saat seperti ini adalah masa hitungan jam. Semua sudah dipersiapkan dari baju baru, makanan istimewa, dan persiapan mental bahagia untuk mendapatkan amplop di hari kemenangan.

Lebaran bagi saya juga potret momen mengakui kesalahan. Sudah menjadi tradisi jika di masa Lebaran semua saling memaafkan. Bahkan, maaf dilontarkan dengan tangisan. Tangisan dan Lebaran adalah potret yang biasa saya lihat.

Dahulu, jika ada keluarga yang jarang bertemu karena jarak, maka kesempatan pertemuan dilakukan di masa Lebaran. Di situlah rasa menyesal atas kesalahan-kesalahan masa lalu tumpah.

Saling berpelukan dan bertangisan antarkeluarga di masa Lebaran pun terjadi. Bahkan, mereka yang berseteru kadang juga reda di masa Lebaran. Biasanya yang netral akan bilang gini. "Ini kan Idulfitri, sudahlah kalian saling memaafkan. Tak baik terus bermusuhan," begitu biasanya petuah tetua pada yang berseteru usai salat Id.

Akhirnya dua manusia yang berseteru leleh juga. Air mata mereka mengalir, bahkan kadang deras. "Maafkan aku ya," kata yang satu. Yang satunya lagi juga mengungkapkan kalimat yang sama. "Sama-sama, maafkan aku juga," kata yang lainnya. Air mata pun berderai tak keruan ketika keduanya berpelukan.

Kadang, saat makan ketupat,  keduanya masih sesenggukan. Ketupat dan kuahnya pun terasa lebih asin karena campuran tetesan air mata. Begitulah suasana Lebaran. Sekitar 9 tahun lalu, saya pun melihat tangis derai dari lelaki bertato.

Lelaki bertato, dalam persepsi masa kecil saya adalah lelaki yang identik dengan kegarangan dan keperkasaan. Nah, momen 9 tahun lalu itu tidak aku lupakan. Ada seorang tetangga yang bertato, bersilaturahmi usai salat Id.

Dia mendatangi sesepuh yang sudah sakit-sakitan. Sesepuh itu memang terlihat sudah kewalahan dengan kondisinya. Sehingga hanya bisa berbaring. Nah, di momen Lebaran itu, si lelaki bertato ini bersimpuh di samping tempat tidur si sesepuh itu sembari meraung-raung menangis meminta maaf. Lelaki garang pun menangis di masa Lebaran.

Jadi tangis itu, hal yang biasa saya lihat di masa Lebaran. Tapi, mungkin di masa Lebaran tahun ini yang tinggal beberapa hari lagi, tangis akan membanjir. Tangisan yang membanjir di kamar masing-masing.

Anak kost misalnya, yang tidak boleh mudik karena pandemi, dia akan meringkuk di kamar kost. Sembari sayup-sayup mendengar suara takbir Idulfitri di malam hari, sembari ingat bapak dan ibu nun jauh di rumah.

Bapak ibu yang menjagamu waktu kecil. Yang menyekolahkanmu, yang menyuapimu, yang kadang marah karena sayangnya padamu. Dua sosok yang untuk pertama kalinya tak bisa disungkemi langsung di Lebaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun