Belum lama ini saya menulis di Kompasiana soal BPJS Kesehatan yang iurannya turun usai putusan Mahkamah Agung. Tulisan saya memang tak memotret secara khusus BPJS Kesehatan, tapi soal performa pengadilan. Tulisan saya, sebagai bentu bahagia turunnya iuran BPJS Kesehanan itu bisa diliat di sini.
Namun, hanya berselang beberapa hari, Presiden Jokowi membuat Perpres baru yang intinya kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu seperti dikutip Kompas.com tertera dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Perinciannya, kelas I, iuran peserta mandiri naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000. Kelas II, iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000. Kelas III, iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Untuk kelas III, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500.
Kenaikan ini seperti sebuah drama yang memang menegaskan pemerintah ngebet ingin menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Diketahui, pemerintah sebelumnya sudah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Namun, kenaikan itu digugat ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memutuskan membatalkan kenaikan iuran tersebut. Namun, setelah itu, pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Belum tahu apakah akan ada lagi warga yang menggugat kenaikan iurang BPJS Kesehatan kedua ini.
Saya pribadi membaca kenaikan BPJS Kesehatan ini langsung lemas. Otak harus berpikir ulang karena pengeluaran akan membengkak mulai Juli nanti. Di sisi lain, sepertinya kenaikan ini akan diusahakan maksimal oleh pemerintah. Jika pun nanti ada yang menggugat ke MA dan pemerintah kalah, pemerintah tetap akan membuat peraturan baru lagi untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Naga-naganya pemerintah tak akan mengalah dalam soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini. Mungkin karena kondisi keuangan yang sudah membahayakan. Artinya, jika tidak ada kenaikan iuran, maka akan ada masalah dengan keuangan BPJS Kesehatan. Â Di sisi lain, sebagian rakyat jelas akan dibebani dengan kondisi seperti ini.
Namun, saya mencoba menulis hal lain, terkait perpolitikan dari kebijakan BPJS Kesehatan ini. Bagi Presiden Jokowi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah pilihan yang tak akan berpengaruh besar. Sebab, dirinya sudah tak bisa lagi maju di Pilpres 2024. Sebab, sudah dua periode menjadi presiden.
Jadi keputusan-keputusan di periode kedua ini adalah keputusan Jokowi yang bakal akan sulit untuk ditawar. Dia tak tersandera dengan elektabilitas lagi. Namun, bicara politik, maka kebijakan yang memberatkan sebagian rakyat ini bisa jadi berdampak pada beberapa pihak.
Misalnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan jadi senjata di pilkada Desember nanti. Partai-partai dan calon dari "partai pemerintah" akan diserang dengan isu BPJS Kesehatan. Terkhusus menurut saya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai tempat Jokowi bernaung.
Bisa jadi di pilkada nanti, PDIP akan diserang sebagai partai yang tidak pro rakyat karena kenaikan BPJS Kesehatan. Isu ini bisa jadi senjata lawan PDIP di pilkada. Bahkan, saya menduga kebijakan soal BPJS Kesehatan  bisa berdampak pada calon-calon yang diusung PDIP. Gibran Rakabuming, putra Jokowi, jika maju di Pilkada Solo, saya pikir juga akan diserang dengan kebijakan sang ayah.
Bobby Nasution, menantu Jokowi jika maju di Pilkada Medan, juga bisa saja diserang soal kebijakan Jokowi. Politik itu soal serang menyerang dan semua partai tahu bagaimana memanfaatkan momen.