Sudah bukan cerita baru jika ada pengemis atau pemulung yang ternyata hidup berkecukupan. Fenomena itu kita lihat dalam pemberitaan atau dalam kehidupan sehari-hari. Abah Tono adalah salah satu fenomena itu. Maka, perlu bagi kita untuk bersedekah pada mereka yang kita ketahui secara riil kondisinya.
Abah Tono adalah warga Kampung Babakan Sondiri, RT 02 RW 07, Desa Pangauban, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Seperti diberitakan Kompas.com, lelaki berusia 70 tahun itu moncer setelah kisah dirinya diunggah di laman @silihasahsilihasihsilihasuh.
Cerita Abah Tono menjadi viral setelah diunggah kembali di Twitter oleh @sandy_adul. Kenapa viral? Karena Abah Tono mengaku pendapatan per harinya sebagai pemulung hanya Rp 1.500. Tentu saja pengakuan itu akan membuat banyak orang terhenyak dan tertarik hati untuk membantu atau bersedekah.
Namun, belakangan kekecewaan muncul bagi mereka yang hendak sedekah ke Abah Tono. Sebab, diketahui Abah Tono memiliki rumah yang cukup yakni berlantai dua dan memiliki dua kendaraan bermotor.
Fenomena ini bukan hanya membuat kita protes dengan Abah Tono. Hendaknya kita, termasuk saya, introspeksi untuk melihat keadaan orang. Siapapun yang memiliki media sosial hendaknya memang menginformasikan hal yang benar-benar sahih.
Bagaimana kita bisa mempercayai begitu saja cerita orang yang tidak kita kenal dan kemudian mengunggahnya di media sosial. Jika orang itu bisa bercerita dengan mengharu biru, maka simpati akan berdatangan seperti air bah. Tak bisa dibendung.
Kenapa tidak menceritakan tetangga yang jelas-jelas kondisinya diketahui dan diunggah ke media sosial. Misalnya si A mengunggah kondisi tetangganya yang memprihatinkan dan diunggah ke media sosial. Daripada mengunggah cerita orang yang tak jelas latar belakang ekonominya.
Atau jangan-jangan karena kemudahan teknologi, kita malah lebih dekat dengan yang jauh dan menjadi jauh dengan yang dekat. Karena bermodal teknologi kita bisa pergi ke mana saja dengan mobil. Lalu kita melihat ada orang yang terlihat kasihan, kita datangi kita ajak cerita, kemudian cerita sedihnya diviralkan di media sosial.
Sementara, dengan realitas dekat kita, kita malah tak tahu. Tak tahu kalau ada tetangga yang lebih butuh bantuan dari kita. Tak tahu kalau ada tetangga yang lebih butuh perhatian kita. Dunia makin terbalik mungkin.
Nah, saya berpendapat, sah saja orang berempati dengan orang lain yang tidak dikenal. Namun, sebelum jauh ke sana, alangkah lebih baiknya kita terlebih dahulu empati dengan tetangga kita yang memiliki kekurangan ekonomi. Kalau bukan tetangga, ya empati pada orang yang secara jarak dengan rumah kita, bisa mudah diklarifikasi dan dikonfirmasi.
Jika Anda seorang pegiat media sosial dan ingin melihat fenomena kemiskinan misalnya, maka alangkah lebih baik bergerak di area yang dekat dengan rumah Anda. Area yang bisa dijangkau dan diklarifikasi dengan mudah.