Mulanya adalah "kepaten obor" lalu saya terjemahkan bebas menjadi "matinya obor". "Matinya obor" adalah konsep untuk menjelaskan ketika hubungan kekerabatan tak lagi terdeteksi karena jarang berhubungan. Jadi obor itu sudah mati, obor untuk menerangi keberadaan kerabat.
Ini ilustrasinya saja. Satu ketika saya silaturahmi pada saudara sepupu. Dia adalah anak dari paman saya. Kami bicara ke sana ke mari. Sampai di satu titik saya bertanya tentang kerabat dari ibu saudara sepupu saya itu.
Dia mengatakan bahwa saudara-saudara ibunya adalah orang yang secara jarak geografis bisa dibilang jauh. Karena itu, sejak dahulu jarang sekali bertemu dan berkomunikasi. Â Kini ketika teknologi sudah maju, tetap saja kesulitan melacaknya. "Wis kepaten obor (sudah mati obornya)," kata saudara sepupu saya.
Fenomena seperti ini memang sering terjadi ketika kerabat hidup di daerah yang jauh. Apalagi, mereka berpisah sudah 40 tahunan lampau. Makin sulit terdeteksi. Walaupun memang sebagian ada yang terdeteksi melalui aplikasi pertemanan di dunia maya.
Nah, itu adalah "matinya obor" karena jarak yang jauh. Menurut saya "matinya obor" ini juga bisa terjadi sekalipun jarak geografisnya dekat. Sebab, memang jarang berkomunikasi karena kesibukan masing-masing.
Kini, generasi tiga level di atas pun sudah banyak yang tak bisa menjelaskan. Misalnya siapa saudara dari buyut Anda. Buyut dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah ibu dari nenek.
Siapa saja saudara dari buyut Anda dan siapa keturunannya. Ada di mana saja mereka? Kemungkinan sebagian dari Anda sudah tidak tahu. Apakah itu salah? Saya tak mau membatasi pembahasan ini hanya sebagai benar atau salah.
Untuk meminimalisir potensi "matinya obor", orangtua zaman dahulu sering membawa anaknya ketika silaturahmi. Saya pun dulu sering diajak ketika orangtua silaturahmi ke kerabat.
Langkah mengajak anak itu dilakukan agar sang anak tahu siapa saja saudaranya atau bahkan siapa saja guru dan teman orangtuanya. Maka hubungan itu berlanjut sampai ke anak.
Namun, saya melihat (bahkan pada diri saya sendiri) fenomena mengajak anak bersilaturahmi itu sudah pudar. Tapi perlu digarisbawahi bahwa kesimpulan itu hanya dari yang saya lihat. Bisa jadi di tempat lain tidak seperti itu.
Jadi, anak jarang diajak kala bersilaturahmi. Anak lebih sering diajak ketika bertamasya. Orangtua saat ini, justru kebingungan mau mengajak ke kerabat jauh yang mana karena memang sebagian sudah kesulitan melacak kerabat.