Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Sepak bola Argentina

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adu Mulut pada Pembubaran Jemaah Salat Jumat di Polman, Sebuah Pelajaran

11 April 2020   06:41 Diperbarui: 11 April 2020   07:24 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim kesehatan dibantu aparat menempelkan stiker rumah ODP di Kutai Kartanegara beberapa waktu lalu. Foto Humas Pemkab Kutai Kartanegata dipublikasikan kompas.com

Ada pemandangan tak mengenakkan dari Desa Sugihwaras, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar. Ada adu mulut terjadi saat pembubaran jemaah salat Jumat, (9/4/2020). Ini tentu jadi pelajaran penting, khususnya bagi Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVIFlD-19.

Jika pihak yang melarang ajang kumpul termasuk salat Jumat dan jemaah salat Jumat beradu argumentasi, maka tak akan rampung. Dua cara pandang kedua pihak punya basis argumentasi masing-masing.

Maka, saya pun tak mau membahas pola argumentasi kedua belah pihak. Sebab, rawan untuk dimaknai berbeda. Maka, saya hanya ingin memberikan pandangan pada Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVIFlD-19. Saya tak bermaksud menggurui, hanya memberikan pendapat.

Sejak awal adanya usaha pembubaran terhadap segala macam kerumunan, saya memprediksi bahwa di lapangan akan muncul problem. Atau hal-hal terkait pemberantasan COVID-19 saat pelaksanaan di lapangan juga rawan masalah.

Dugaan saya akan muncul masalah jika penanganan tak dilakukan dengan pendekatan kultural dan memakai pihak yang kompeten. Saya menduga, kejadian di Polewali Mandar tak melakukan pendekatan itu.

Saya membayangkan, jika Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVIFlD-19 ingin membubarkan jemaah yang akan salat Jumat, tim perlu menggandeng perwakilan pihak yang kompeten. Siapa perwakilan itu? Bisa dari MUI, ormas keagamaan, Dewan Masjid Indonesia, dan sejenisnya.

Jika mendatangkan pihak yang kompeten, adu argumentasi pun tak akan berkepanjangan. Pihak yang kompeten juga paham bagaimana menjelaskan soal tak bolehnya berkerumun, termasuk salat Jumat, pada para jemaah.

Selain itu, bisa juga mendatangkan tokoh daerah setempat. Tokoh ini bisa tokoh yang berpengaruh dalam hal agama. Sehingga bisa menjelaskan dalam konteks agama. Saya menduga jika hal itu dilakukan, potensi gesekan akan kecil.

Selain itu, pendekatan area juga bisa dilakukan di masa seperti ini. Saya pikir polisi dan tentara memiliki alat untuk melakukan pendekatan itu karena ada Bhabinkamtibmas dan Babinsa yang basisnya di desa. Keduanya sering berkomunikasi dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVIFlD-19 bisa memanfaatkan adanya Bhabinkamtibmas dan Babinsa. Pendekatan yang lebih tradisional dengan tatap muka akan semakin mengeratkan hubungan.

Bagi saya kasus di Polman ini bukan kali pertama dalam konteks penanganan COVID-19. Di Banyumas juha pernah terjadi, tapi dalam konteks yang berbeda. Di Banyumas, bupati turun langsung dalam pemakaman jenazah COVID-19. Saat itu, ada penolakan warga dan perang argumentasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun