Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Setelah Pilkada Ditunda, Bagaimana Kans Anak dan Mantu Jokowi?

6 April 2020   12:03 Diperbarui: 7 April 2020   09:41 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran Rakabuming. (Foto kompas.com/Garry Andrew Lotulung)

Pilkada serentak tahun 2020 yang sedianya dilaksanakan pada September akhirnya ditunda. Penundaan dilakukan karena ancaman wabah corona. Sampai saat ini, belum ada keputusan KPU kapan pilkada serentak itu akan dilaksanakan.

KPU baru memikirkan tiga opsi setelah penundaan pilkada serentak 2020. Seperti diberitakan tempo, pilkada bisa dilaksanakan Desember 2020 atau Maret 2021 atau September 2021. Penundaan ini tentu akan berdampak pada para bakal calon atau para kandidat yang digadang akan maju dalam pilkada serentak.

Dua nama yang menyita perhatian dalam pilkada serentak kali ini adalah anak Presiden Jokowi dan mantu Presiden Jokowi. Anak Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka jadi kandidat untuk bertarung di Pilkada Solo. Sementara, mantu Jokowi Bobby Nasution digadang maju dalam Pilkada Medan.

Namun, sampai penundaan pilkada, sepengetahuan saya baik Gibran maupun Bobby belum mendapatkan rekomendasi dari PDI Perjuangan. Dengan kondisi penundaan pilkada ini, lalu bagaimana kans dari keduanya. Ada beberapa poin yang coba saya tuliskan, yang tentunya ini adalah prediktif.

Pertama, penundaan pilkada tentu menjadi kesempatan bagus bagi Gibran dan Bobby untuk menyosialisasikan diri dan visi misinya. Sekalipun terkenal karena memiliki hubungan dengan Presiden Jokowi, namun keduanya masih hijau di dunia politik.

Mereka harus bisa menyosialisasikan diri ke masyarakat. Sosialisasi ini akan sangat bermanfaat bagi keduanya untuk semakin dikenal oleh warganya.

Sosialisasi secara langsung bertatap muka dengan masyarakat kiranya menjadi sosialisasi yang cukup penting. Apalagi orangtua mereka dikenal karena tak memiliki jarak dengan rakyat.

Kedua, penundaan pilkada juga menjadi kesempatan bagi Gibran dan Bobby untuk terus melakukan pendekatan ke partai. Tentu saja, agar lebih aman adalah mereka mendapatkan rekomendasi dari PDI Perjuangan agar sejalan dengan Jokowi. Namun, dalam politik semuanya mungkin terjadi. Misalnya, PDI Perjuangan tak memberi rekomendasi pada keduanya.

Nah, pendekatan pada banyak partai yang potensial juga harus dilakukan agar jika mereka tak diusung satu partai, mereka memiliki kesempatan untuk diusung partai lainnya. Keduanya harus gencar mendekati partai baik di level daerah atau di level pusat.

Ketiga, kandidat lain berpotensi kedodoran. Diundurnya pilkada membuat calon yang sudah mengeluarkan banyak dana bisa kedodoran. Mereka bisa jadi akan menghitung ulang kebutuhan sosialisasi dan tetek bengeknya yang membutuhkan uang.

Sementara, Gibran dan Bobby menurut saya relatif bisa menekan pengeluaran. Sebab, bagaimanapun nama besar Jokowi sangat membantu keduanya untuk melonjak naik ke permukaan dan tinggal memberikan polesan politik saja.

Maka, menurut saya penundaan pilkada lebih memiliki nilai positif bagi Gibran dan Bobby. Sebab, waktu yang masih panjang ini bisa dimanfaatkan untuk terus memoles diri, baik terkait nama, visi misi, performa di depan publik, dan lainnya.

Bobby Nasution (Foto, kompas.com/andri donnal putera)
Bobby Nasution (Foto, kompas.com/andri donnal putera)
Bisa Jadi Beban

Keberadaan Gibran dan Bobby yang memutuskan terjun ke dunia politik bisa menjadi beban bagi mereka. Mereka bisa lebih banyak terbebani daripada tenang jika tak mengatur diri dengan baik. Beban terbesar mereka adalah nama besar Jokowi.

Tentu saja, nama besar Jokowi membuat keduanya harus terus berada dalam jalur versi Jokowi. Hal itu harus mereka lakukan saat menjadi kandidat atau saat kampanye. Sekali salah atau terpeleset tak seperti Jokowi, maka bisa jadi boomerang.

Misalnya begini, Jokowi terkenal dekat dan rekat dengan rakyat. Maka, Gibran dan Bobby setidaknya memberi hal yang tak beda dengan Jokowi. Jika mereka berjarak dengan rakyat, maka akan jadi nilai minus pada keduanya. Keduanya pun akan dibanding-bandingkan dengan Jokowi.

Jokowi juga sudah berpengalaman di pemerintahan. Sebab, Jokowi sudah tiga kali jadi pemimpin yakni di Solo, Jakarta, dan Indonesia. Saat Jokowi terkenal, dia sudah memiliki modal bagus sebagai pemimpin. 

Sementara, Gibran dan Bobby terkenal tapi tak memiliki pengalaman memimpin pemerintahan. Ini bisa jadi senjata bagi lawan keduanya untuk melakukan serangan. 

Gibran dan Bobby bisa dituding aji mumpung dalam berpolitik. Nah, nama besar Jokowi kalau tak bisa diatur dengan baik bisa menjadi petaka bagi keduanya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun