"Lupakan dirimu, dan jadilah sosok seperti yang harusnya kau tampilkan."
Pernyataan yang kira-kira seperti itu sering hilir mudik sebelum pementasan teater dimulai. Dalam keheningan, para pemain mencoba meresapi tiap langkah dan adegan yang akan dia pertontonkan.
Seperti itulah memori yang terekam di benak saya ketika sering membaur dengan para pemain teater. Memori yang terjadi belasan tahun lalu.
Sejatinya, yang juga saya yakini, bahwa teater yang sebenarnya adalah di kehidupan nyata. Tiap manusia adalah aktor yang selayaknya memerankan diri sebaik-baiknya, tapi sekaligus dengan sealamiah mungkin sehingga terlihat menyenangkan, menginspirasi, membahagiakan.
Sebaik-baiknya adalah usaha maksimal yang harus dilakukan. Sealamiah mungkin menjelaskan bahwa ada sisi kemanusiaan yang sewajarnya, yang tak dibuat-buat berlebihan.
Maka, jika dia adalah seorang guru, dia bisa mengajar layaknya orang mengajar yang bisa mentransformasikan ilmu, pengetahuan, nilai kemanusiaan secara alamiah. Jika dia seorang sopir, maka bisa menjalankan mobil, mahir di tanjakan, dan suara keras khas yang menggembirakan.
Jika dia seorang anggota dewan, mampu merangkai kata, perilaku, yang menjelaskan bahwa itulah yang diinginkan rakyat. Jika dia seorang hakim, bukan hanya menegakkan hukum, tapi juga memberi keadilan. Jadi apa saja, dia bisa menyelami perannya, diusahakan sebaik mungkin dan sealamiah mungkin.
Nah, berbicara sepak bola, lapangan hijau adalah panggung. Jika setiap yang ada di lapangan memaksimalkan peran sealamiah mungkin, maka pertandingan akan enak ditonton.
Yang bertugas menyerang, mampu melakukan serangan dengan baik. Serangan yang bisa menusuk jantung pertahanan. Atau serangan yang membunuh dengan seni saling umpan tingkat tinggi.
Jika mampu mencetak gol, maka ekspresi dari dalam hati menjadi tontonan sendiri. Ekspresi dalam hati itu, memungkinkan orang melakukan satu hal yang beda dengan lainnya.