Filsafat Islam adalah warisan intelektual yang terus berkembang, bereaksi terhadap perubahan zaman dan tantangan yang dihadapi oleh umat Muslim di seluruh dunia. Dari abad pertengahan hingga era modern, filsafat ini telah mengalami berbagai perubahan dalam cara berpikir, pendekatan, dan fokus. Salah satu perbedaan mendasar antara filsafat Islam abad pertengahan dan modern adalah konteks serta prioritas yang diusung oleh para pemikirnya. Jika pada masa lalu filsafat Islam banyak berkutat pada masalah-masalah metafisik, kosmologis, dan etis dalam upaya menyelaraskan wahyu dengan akal, maka filsafat modern lebih menitikberatkan pada relevansi sosial, politik, dan sains dalam menghadapi dunia yang kian berubah.Pada abad pertengahan, filsafat Islam berkembang dengan kuat berkat pengaruh filsafat Yunani. Tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd memainkan peran kunci dalam mempertemukan ajaran Islam dengan pemikiran Aristoteles dan Plato. Mereka berusaha membangun kerangka filsafat yang tidak hanya mengandalkan wahyu semata, tetapi juga mengedepankan akal dan rasionalitas sebagai alat untuk memahami kebenaran yang lebih dalam. Pemikiran-pemikiran mereka memberikan kontribusi signifikan pada tradisi intelektual dunia dan tetap menjadi landasan penting dalam studi filsafat, baik di Timur maupun Barat.
Namun, saat dunia Islam mulai mengalami kemunduran politik dan ekonomi, pengaruh filsafat ini juga menurun. Filsafat yang dulu berkembang pesat mulai tergeser oleh teologi yang lebih dogmatis, sementara dunia Muslim menghadapi tantangan baru dari kolonialisme Barat. Dalam konteks inilah, filsafat Islam modern muncul. Filsafat modern lebih menekankan pada pertanyaan-pertanyaan seputar modernitas, ilmu pengetahuan, kemajuan sosial, dan peran Islam di tengah arus globalisasi. Pemikir-pemikir seperti Muhammad Iqbal, Jamaluddin Al-Afghani, dan Muhammad Abduh menjadi tokoh-tokoh penting dalam gerakan pembaruan ini.Jamaluddin Al-Afghani adalah salah satu tokoh yang sangat vokal dalam mendesak umat Islam untuk bangkit dari kemunduran mereka. Ia melihat bahwa kolonialisme Barat telah merendahkan martabat umat Islam, dan salah satu cara untuk melawannya adalah dengan membangun kesadaran politik dan persatuan antar-Muslim. Al-Afghani menyuarakan gagasan pan-Islamisme, yang berfokus pada pentingnya persatuan dunia Muslim dalam menghadapi hegemoni Barat. Ia menekankan bahwa umat Islam tidak harus menolak modernitas, tetapi sebaliknya harus mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tanpa kehilangan nilai-nilai Islam.
Dalam hal ini, Al-Afghani melihat modernitas sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi sebagai alat untuk menguatkan posisi umat Muslim di kancah dunia. Meski demikian, ia juga sangat kritis terhadap sekularisme Barat dan menentang segala bentuk ideologi yang berusaha memisahkan agama dari kehidupan publik. Baginya, Islam adalah kekuatan spiritual dan politik yang dapat membebaskan umat dari penjajahan, baik secara fisik maupun intelektual.Di sisi lain, Muhammad Abduh, murid Al-Afghani, lebih menekankan pada reformasi dalam bidang pendidikan dan hukum Islam. Ia percaya bahwa penyebab utama kemunduran umat Islam adalah ketergantungan mereka pada tradisi lama yang tidak lagi relevan dengan dunia modern. Abduh menolak konsep taqlid, yakni mengikuti tradisi tanpa memikirkan ulang konteks dan relevansinya. Baginya, umat Islam harus terbuka terhadap pembaruan dan kembali menghidupkan semangat ijtihad, atau pemikiran bebas dalam menafsirkan ajaran Islam.
Abduh juga percaya bahwa Islam adalah agama yang rasional dan progresif. Ia berusaha memperbarui pemikiran Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar agama. Pembaruan yang diusungnya mencakup pendidikan yang lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan modern, reformasi hukum Islam agar lebih adil, dan menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang dianggap ketinggalan zaman namun masih dipraktikkan dalam masyarakat Muslim. Meskipun Abduh sangat menghargai tradisi, ia merasa bahwa umat Islam tidak boleh terjebak dalam masa lalu.
Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair besar dari India, juga menawarkan pandangan yang unik dalam upaya pembaruan pemikiran Islam. Berbeda dengan Al-Afghani yang lebih berfokus pada aspek politik, atau Abduh yang menekankan reformasi sosial, Iqbal lebih memperhatikan aspek spiritual dan filosofis. Baginya, kunci kebangkitan Islam terletak pada kebebasan individu dan kreativitas. Ia percaya bahwa umat Islam harus meninggalkan dogmatisme yang kaku dan membuka diri terhadap ide-ide baru yang dapat memperkaya pemikiran keagamaan.Iqbal melihat Islam sebagai agama yang dinamis dan fleksibel. Ia menekankan pentingnya kebebasan berpikir dan bertindak dalam Islam, serta mendorong umat Muslim untuk menjadi individu yang kreatif dan mandiri. Dalam pandangan Iqbal, Islam bukan hanya tentang ketaatan pada ritual, tetapi juga tentang semangat untuk terus berkembang dan berinovasi. Ia percaya bahwa umat Islam harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dunia tanpa harus mengorbankan identitas keislamannya.
Pemikiran para pembaharu ini, yang dikenal sebagai modernisme Islam, berakar pada keyakinan bahwa Islam dapat beradaptasi dengan modernitas tanpa kehilangan esensi spiritualnya. Modernisme Islam menolak tradisionalisme yang dianggap terlalu kaku dan stagnan. Para pemikir modernis berpendapat bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan progresif, yang harus selalu terbuka terhadap perubahan dan pembaruan. Mereka mengkritik keras taqlid, yang mereka anggap sebagai salah satu penyebab utama kemunduran umat Islam. Bagi para modernis, ijtihad, atau usaha untuk menafsirkan ajaran agama sesuai dengan konteks zaman, adalah kunci bagi kemajuan umat Muslim.Namun, modernisme Islam juga menghadapi kritik. Para tradisionalis sering kali merasa bahwa modernisme terlalu banyak mengadopsi nilai-nilai Barat dan berpotensi merusak keotentikan ajaran Islam. Mereka khawatir bahwa modernisme akan mengaburkan perbedaan antara Islam dan sekularisme Barat. Kritik ini mencerminkan ketegangan yang terus ada dalam dunia Islam antara keinginan untuk beradaptasi dengan zaman modern dan keinginan untuk tetap setia pada tradisi.Pada akhirnya, perdebatan antara modernisme dan tradisionalisme ini mencerminkan dinamika yang kaya dalam sejarah pemikiran Islam. Filsafat Islam modern, dengan segala kompleksitasnya, tetap merupakan upaya untuk menjawab tantangan zaman dengan tetap setia pada nilai-nilai fundamental Islam. Meski banyak perbedaan pendapat, tujuan utama dari gerakan ini tetap sama: menghidupkan kembali kekuatan intelektual, spiritual, dan sosial umat Islam dalam menghadapi dunia yang terus berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H