What is it that makes us trust our judges?
Their independence in office and manner of appointment.
(John Marshall)
Tidak perlu uraian panjang untuk menyatakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) merupakan anak kandung Reformasi. Sebagai lembaga yang dibekali kewenangan menafsirkan konstitusi sekaligus menguji konstitusionalitas undang-undang, kelahiran MK merupakan konsekuensi langsung atas gerakan Reformasi yang menghendaki amandemen UUD 1945. Sekalipun amandemen hanya satu dari enam tuntutan bertajuk Agenda Reformasi, namun ide pokok yang mempertautkan keenamnya adalah perombakan struktur ketatanegaraan untuk mewujudkan negara hukum.Â
Sementara konsepsi negara hukum meniscayakan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan yang ditempatkan sejajar dengan batas-batas kewenangan yang definitif. Pada kewenangan menafsirkan konstitusi dan membatalkan undang-undang itulah MK hadir guna menjalankan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan, sekaligus menjadi penyeimbang tarik-menarik antara legislatif dan eksekutif.
Kerentanan MK dan Jebakan Oligarki
Sekalipun eksistensi MK berpijak di atas gagasan independensi yudikatif, namun terjadinya relasi saling mempengaruhi antarcabang kekuasaan merupakan keniscayaan lain yang tidak dapat dihindari. Sebab meski desain perlembagaan negara telah memisahkan cabang-cabang kekuasaan berdasarkan jenisnya, hal itu tetap saja menyisakan residu sebagai imbas praktik penyelenggaraan negara yang tidak dapat memutus habis hubungan antarlembaga.Â
Misalnya pada kewenangan membentuk undang-undang yang menjadi ranah DPR, MK akan selalu terbuka untuk terpengaruh dalam hal perubahan undang-undangnya. Hal itu ditambah lagi dengan peran DPR dan Presiden untuk mengajukan Hakim Konstitusi, di mana proses pengisian jabatan itu sarat kalkulasi politik.
Bila dibandingkan dengan MK di dunia, perubahan undang-undang dan intervensi melalui pengisian jabatan Hakim Konstitusi merupakan pola umum yang jamak terjadi. Sebutlah Hungaria, Rusia, Turki, dan Venezuela yang mengubah peraturan perundang-undangan ihwal mekanisme pengisian jabatan Hakim Konstitusi sebagai jalan bagi kekuatan politik untuk menyeludupkan hakim-hakim loyalis pada kekuasaan.
Menariknya, di Indonesia pola ini dimanfaatkan dengan begitu baik. Sebutlah perubahan undang-undang MK melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 yang menghapuskan periodesasi masa jabatan Hakim Konstitusi. Perubahan ini sejatinya mengandung paradoks. Di satu sisi penghapusan periodesasi jabatan Hakim Konstitusi terbilang baik karena menekan potensi persinggungan Hakim Konstitusi dengan praktik politik praktis melalui satu kali masa jabatan yang panjang. Di sisi lain perubahan undang-undang yang dilakukan pada momentum kritis tatkala MK kebanjiran perkara uji konstitusionalitas terkait revisi Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Cipta Kerja memberi nuansa politik transaksional yang tak terhindarkan.
Fenomena itu diperparah dengan intervensi DPR melalui pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto di luar ketentuan undang-undang. Bahkan Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, terang menyatakan pemberhentian itu dilatarbelakangi Aswanto yang tidak loyal karena banyak menganulir undang-undang buatan DPR. Dari alasan itulah DPR memasang Guntur Hamzah sebagai gantinya yang tentu telah dipastikan loyal dan berkomitmen untuk tidak menganulir undang-undang buatan DPR. Intervensi DPR lekas membuahkan hasil lewat skandal pemalsuan putusan oleh Guntur Hamzah yang dilakukan hanya beberapa jam setelah ia dilantik sebagai Hakim Konstitusi.