Surabaya - Pernyataan Presiden Prabowo mengenai koruptor akan dimaafkan asal menyerahkan uang secara diam-diam merupakan sebuah kelucuan tingkat tinggi. Korupsi adalah penyakit bangsa ini yang sudah kronis terjadi baik ditingkatan paling rendah sampai paling tinggi. Jika koruptor dimaafkan dengan mudah, hal ini dapat mengurangi efek jera, memberikan ruang bagi pelaku lain untuk melakukan kejahatan serupa, serta menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum.
Penyakit seperti ini harus diobati dengan penegakkan hukum yang berkeadilan, tangkap semua pelaku korupsi siapapun itu. Tidak ada namanya lawan atau kawan untuk berkomitmen memberantas korupsi, jangan hanya karena lawan politik penegakkan hukum menjadi "tajam ke lawan tumpul ke kawan" seakan-akan dijadikan sebagai alat kriminalisasi terhadap pihak yang kritis terhadap pemerintah.
Jika kita bertanya tentang tindakan pemerintah apa yang tepat untuk pelaku korupsi maka koruptor dimiskinkan dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Mengapa bukan hukuman mati? Kita tahu bahwa penegakkan hukum di Indonesia masih belum sempurna, kita harus melihat kedepan jika bahwa jika hukuman mati diterapkan tidak hanya menimbulkan perdebatan etis, tetapi juga risiko salah vonis yang fatal. Selain itu RUU Perampasan Asetmemungkinkan negara untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Dengan menyita kekayaan hasil korupsi, negara dapat mengalokasikan aset tersebut untuk pembangunan dan pelayanan publik. Hal ini lebih produktif dibanding hukuman mati
Penulis adalah mahasiswa aktif Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H