Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hustle Culture vs. Slow Living: Mencari Keseimbangan antara Produktivitas dan Kualitas Hidup

9 Desember 2024   20:34 Diperbarui: 9 Desember 2024   20:34 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah kesibukan era modern, banyak orang terjebak dalam budaya kerja keras atau hustle culture, di mana produktivitas menjadi ukuran utama kesuksesan. Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental dan kesejahteraan, konsep slow living mulai mendapatkan perhatian. Artikel ini akan membahas perdebatan antara hustle culture dan slow living, serta bagaimana menemukan keseimbangan antara keduanya dapat meningkatkan kualitas hidup.


Mengungkap Rahasia Hustle Culture: Apakah Ini Kunci Kesuksesan atau Jerat Stres?

pexels
pexels

Hustle culture adalah fenomena di mana individu merasa tertekan untuk selalu bekerja keras dan produktif. Menurut sebuah studi oleh Harvard Business Review, 94% pekerja merasa bahwa mereka harus bekerja lebih keras untuk mencapai kesuksesan (Harvard Business Review, 2021). Budaya ini sering kali mendorong orang untuk mengorbankan waktu pribadi, kesehatan, dan hubungan demi mencapai tujuan karir. Hustle culture juga sering dipromosikan melalui media sosial, di mana kesuksesan sering kali diukur dari seberapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja.

Dampak Hustle Culture: Apakah Kita Mengorbankan Kesehatan untuk Kesuksesan?

pexels
pexels

Meskipun hustle culture dapat menghasilkan kesuksesan finansial, dampak negatifnya tidak bisa diabaikan. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang terjebak dalam budaya ini lebih rentan terhadap stres, kecemasan, dan depresi (American Psychological Association, 2022). Selain itu, mereka juga cenderung mengalami kelelahan yang dapat mengurangi produktivitas jangka panjang. Kelelahan ini, yang sering disebut sebagai burnout, dapat menyebabkan penurunan motivasi dan kreativitas, yang pada akhirnya berdampak negatif pada kinerja kerja.


Keajaiban Slow Living: Bagaimana Mengubah Hidup Anda dengan Langkah Kecil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun