Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah Era Digital Membuat Kita Kehilangan Empati? Menjelajahi Krisis Sosial yang Tersembunyi

7 November 2024   17:29 Diperbarui: 7 November 2024   17:42 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

 Di Antara Koneksi Digital dan Keheningan Emosi

Setiap hari, kita berinteraksi dengan ratusan, bahkan ribuan, orang melalui layar. Media sosial dan pesan instan telah menjadi jembatan utama dalam kehidupan kita. Namun, di balik koneksi yang tampaknya terus mengalir ini, ada pertanyaan besar yang mengemuka: apakah kita masih benar-benar memahami satu sama lain? Apakah empati, kemampuan manusiawi yang memungkinkan kita merasakan perasaan orang lain, mulai menghilang di tengah hiruk-pikuk digital ini?

Krisis Empati di Era Digital: Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Empati adalah perekat dalam hubungan sosial manusia. Namun, penelitian dari Journal of Psychological Science (2021) menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kemampuan empati di kalangan generasi muda dalam dua dekade terakhir. Para ahli mengaitkan fenomena ini dengan meningkatnya penggunaan teknologi digital dan media sosial, yang menggantikan interaksi tatap muka dengan percakapan singkat yang penuh emoji tetapi hampa makna.

Para psikolog menyebutnya "krisis empati"---penurunan kemampuan seseorang untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain. Meski secara teknologi kita lebih terhubung dari sebelumnya, secara emosional, jarak antarindividu semakin melebar.

Media Sosial: Teman atau Musuh dalam Memupuk Empati?

Platform media sosial telah menjadi ruang di mana orang bisa berbagi momen kehidupan dan mengekspresikan diri. Namun, ironisnya, platform ini juga bisa menjadi musuh terbesar empati. Algoritma yang dirancang untuk mempertahankan perhatian kita justru mendorong polarisasi dan persaingan, bukan pengertian.

Sebuah studi dari American Journal of Sociology (2019) menunjukkan bahwa orang cenderung lebih mudah merespons komentar negatif dibandingkan komentar yang membangun empati. Ini menciptakan ekosistem yang memprioritaskan validasi instan, tetapi meminggirkan komunikasi yang tulus dan empatik. Di sinilah letak tantangan terbesar kita: bagaimana membedakan antara koneksi yang hanya bersifat superfisial dengan hubungan yang benar-benar mendalam?

Antitesis: Teknologi Sebagai Alat untuk Memupuk Empati

Meski teknologi sering kali dianggap sebagai penyebab utama krisis empati, banyak inisiatif global yang membuktikan sebaliknya. Kampanye seperti "ShareTheMeal" dari World Food Programme menunjukkan bahwa platform digital dapat digunakan untuk menumbuhkan empati global. Dengan satu klik, orang dapat berkontribusi dan memahami kebutuhan mereka yang kurang beruntung di seluruh dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun