Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Menyoal Anomali Daya Beli dan Deflasi: Mengapa Barang Viral Masih Diserbu?

27 Oktober 2024   18:33 Diperbarui: 27 Oktober 2024   19:09 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa tahun terakhir, penurunan daya beli masyarakat di seluruh dunia menjadi isu ekonomi yang serius. Deflasi, di mana harga barang dan jasa menurun secara bertahap, seringkali menjadi pertanda bahwa permintaan terhadap produk konsumsi melemah. Namun, meski kondisi ekonomi melemah, fenomena antrian panjang untuk produk-produk viral seperti iPhone terbaru atau boneka Labubu terus terjadi. 

Mengapa masyarakat tetap rela mengeluarkan uang untuk produk non-esensial meskipun daya beli menurun? Artikel ini akan mengupas tuntas anomali ini dan menawarkan solusi bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam menghadapi fenomena konsumtif ini.

Penurunan Daya Beli dan Deflasi: Realitas Ekonomi yang Berbeda

Secara umum, penurunan daya beli terjadi karena inflasi yang meningkat, penurunan pendapatan, dan ketidakstabilan ekonomi. Data dari International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa banyak negara menghadapi tantangan ekonomi yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat secara signifikanondisi ekonomi yang lemah ini, banyak konsumen mengalihkan pengeluarannya ke barang-barang kebutuhan pokok, seperti makanan dan tempat tinggal.

Namun, deflasi yang seharusnya mengurangi daya beli masyarakat terhadap barang mewah justru bertolak belakang dengan perilaku konsumtif terhadap barang-barang viral. Menurut jurnal Economic Inquiry, perilaku konsumsi masyarakat tidak selalu rasional, dan sering kali dipengaruhi oleh faktor emosional, sosial, dan psikologis .

FOMO dan Psikologi Konsumtif di Era Digital

Fenomena antrian panjang untuk produk seperti iPhone terbaru tidak lepas dari pengaruh FOMO (Fear of Missing Out), di mana konsumen merasa cemas jika tertinggal dari tren sosial. Media sosial menjadi pendorong utama tren ini. Menurut penelitian dari Journal of Consumer Research, FOMO dapat menciptakan perilaku konsumsi impulsif yang tidak didasarkan pada kebutuhan nyata, melainkan keinginan untuk tetap terlihat relevan di lingkungan sosial .

Barang-barang adi simbol status, terutama di kalangan generasi muda. Masyarakat membeli bukan hanya karena fungsinya, tetapi karena produk tersebut dianggap mencerminkan gaya hidup tertentu. Sebuah penelitian yang diterbitkan di Psychology & Marketing menemukan bahwa perilaku konsumsi ini sangat dipengaruhi oleh tekanan sosial, di mana konsumen rela mengorbankan stabilitas finansial demi mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosial mereka.

Eksklusivitasan sebagai Alat Pemasaran

Barang-barang viral seperti iPhone atau boneka Labubu sering kali dijual dalam jumlah terbatas, menciptakan kesan eksklusivitas. Strategi pemasaran ini memainkan peran penting dalam menciptakan antrian panjang saat peluncuran produk. Journal of Marketing Research menyebutkan bahwa kelangkaan buatan adalah strategi yang efektif untuk meningkatkan permintaan, terutama untuk produk-produk yang bersifat simbolis .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun