Sejarah Singkat Penerapan Kurikulum Merdeka
Pada tahun-tahun terakhir, dunia pendidikan di Indonesia dihadapkan pada perubahan besar dengan hadirnya Kurikulum Merdeka. Diperkenalkan sebagai langkah inovatif untuk memberikan fleksibilitas lebih dalam belajar-mengajar, kurikulum ini menawarkan kebebasan bagi guru dan siswa. Namun, di balik ide ini, terdapat banyak tantangan yang memicu perdebatan. Mulai dari kesiapan sekolah, dukungan infrastruktur, hingga peran guru dan siswa dalam menjalankan konsep baru ini.
Seiring dengan kritik yang muncul, pertanyaan besar pun diajukan: Apakah Kurikulum Merdeka benar-benar membawa manfaat atau justru menambah beban bagi pendidikan Indonesia?
Mengapa Kurikulum Merdeka Kontroversial?
Kurikulum Merdeka digadang-gadang sebagai solusi modern untuk menghadapi tantangan pendidikan di era digital. Dengan memberikan keleluasaan bagi sekolah dan guru untuk memilih metode pengajaran yang paling cocok bagi siswa, kurikulum ini ingin menjauhkan diri dari pola pengajaran kaku yang selama ini diterapkan. Tapi, di sisi lain, penerapannya dianggap tergesa-gesa. Sekolah-sekolah, terutama di daerah, banyak yang tidak siap menghadapi perubahan ini.
Tidak hanya kesiapan fisik yang dipertanyakan, tetapi juga kesiapan mental guru dan siswa. Banyak yang mempertanyakan apakah sistem pendidikan Indonesia sudah siap sepenuhnya untuk transisi besar seperti ini, apalagi tanpa adanya uji coba yang mendalam.
Sudut Pandang Pelajar: Siapkah Mereka Menanggung Beban Kemandirian?
Bagi siswa, Kurikulum Merdeka mungkin terdengar menggiurkan, karena memungkinkan mereka untuk belajar sesuai dengan minat dan kecepatan mereka sendiri. Tetapi kenyataannya, tidak semua siswa memiliki akses yang sama terhadap fasilitas yang mendukung. Di sekolah-sekolah perkotaan, siswa mungkin lebih mudah menyesuaikan diri karena fasilitas yang lengkap. Sementara di sekolah-sekolah pedesaan, tantangannya jauh lebih besar. Akses internet terbatas, bahan ajar yang minim, hingga minimnya dukungan dari rumah bisa menjadi penghambat.
Menurut penelitian dari International Journal of Educational Development (2021), siswa dari latar belakang ekonomi rendah sering kali tertinggal dalam kurikulum yang menuntut kemandirian, karena mereka tidak memiliki akses yang sama dengan siswa dari kalangan lebih mampu. Ini menimbulkan risiko terjadinya peningkatan kesenjangan pendidikan.