Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Krisis Kesehatan Mental di Tempat Kerja: Saatnya Manajer dan HR Menjadi Solusi

12 Oktober 2024   06:30 Diperbarui: 12 Oktober 2024   06:42 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Tren Kesehatan Mental di Tempat Kerja: Mengapa Peran Manajer dan HR Menentukan Kesejahteraan dan Produktivitas Karyawan?

 

Di era pasca-pandemi, isu kesehatan mental karyawan telah menjadi salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh perusahaan di seluruh dunia. Menurut laporan dari SunLife Canada, biaya kesehatan mental meningkat tajam akibat melonjaknya klaim disabilitas terkait stres dan depresi(ifebp). Hal ini memicu kekhawatiran tentang bagaimana perusahaan, khususnya manajer dan HR, merespons dan mengelola isu ini dengan efektif. Nyatanya, dalam survei global, lebih dari 69% karyawan menyebut manajer mereka sebagai penyebab utama tekanan di tempat kerja, sama halnya dengan pasangan atau partner hidup(ifebp).

Mengapa Kesehatan Mental Menjadi Isu Utama di Tempat Kerja?

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Kesehatan mental karyawan bukan lagi masalah individu, melainkan isu yang dapat mempengaruhi kinerja keseluruhan tim dan produktivitas organisasi. Burnout, kelelahan mental, hingga depresi merupakan kondisi yang semakin sering dijumpai di kalangan pekerja. Bahkan, data dari International Foundation menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental menyumbang lebih dari 50% klaim disabilitas di dunia kerja(ifebp).

Tekanan yang meningkat dari target ambisius, jam kerja yang panjang, serta ketidakjelasan batas antara waktu kerja dan pribadi merupakan pemicu utama. Kondisi ini diperburuk oleh fenomena "always-on culture", di mana karyawan diharapkan selalu siap sedia, bahkan di luar jam kerja. Akibatnya, banyak karyawan yang merasa tidak memiliki kendali atas kesejahteraan mereka sendiri.

Realitas di Lapangan -- Mengapa Banyak Manajer Gagal Mendukung Kesehatan Mental Timnya?

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Banyak manajer merasa terjebak antara tuntutan perusahaan untuk mencapai target dan kebutuhan tim untuk dukungan emosional. Masalahnya, kebanyakan perusahaan tidak membekali mereka dengan pelatihan yang memadai. Sebuah studi dari Harvard Business Review mengungkapkan bahwa hanya 35% manajer yang pernah mendapat pelatihan formal tentang cara menghadapi masalah kesehatan mental dalam tim mereka.

Selain itu, stigma yang ada di tempat kerja masih menjadi hambatan besar. Karyawan yang mengungkapkan masalah mental sering kali dianggap "lemah" atau "tidak kompeten", dan hal ini membuat banyak manajer memilih untuk mengabaikan tanda-tanda awal masalah kesehatan mental. Mereka cenderung fokus pada hasil dan produktivitas, sementara dampak jangka panjang dari stres yang terpendam diabaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun