Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Trend Buzzer dan Troll di Pilkada 2024: Benarkah Media Sosial Merusak Demokrasi?

3 Oktober 2024   07:00 Diperbarui: 3 Oktober 2024   07:01 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Mengapa Media Sosial Menjadi Sorotan Utama dalam Pilkada 2024?

 

Pilkada Serentak 2024 menjadi salah satu peristiwa politik terbesar yang menarik perhatian publik Indonesia. Namun, di balik antusiasme tersebut, ada satu isu yang mendominasi diskusi---peran media sosial dalam mengubah wajah kampanye politik. Jika kita melihat fenomena beberapa tahun terakhir, tren penggunaan media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok untuk keperluan politik telah meningkat pesat. Platform-platform ini tidak hanya digunakan untuk menjangkau pemilih muda, tetapi juga sebagai sarana penyebaran informasi (dan disinformasi) yang masif.

Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Journal of Media and Society, sejak 2019, penggunaan media sosial dalam kampanye politik di Indonesia telah meningkat sebesar 35%. Tidak mengherankan jika banyak pihak, baik dari kalangan politisi maupun pengamat, merasa resah bahwa kampanye yang sebelumnya dilakukan dengan tatap muka kini beralih ke dunia digital dengan cara yang sulit terkontrol.

Keresahan yang muncul pun sangat beralasan. Beberapa masalah utama yang dihadapi dalam penggunaan media sosial untuk kampanye antara lain:

  • Polarisasi Pemilih yang Meningkat
  • Penyebaran Hoaks dan Informasi Palsu
  • Penggunaan Buzzer dan Troll untuk Mengintimidasi Lawan Politik

Lebih dari sekadar menjadi alat kampanye, media sosial saat ini dianggap berpotensi mempengaruhi preferensi politik secara ekstrem. Hal ini menciptakan dinamika yang lebih kompleks dan menuntut pemahaman yang lebih dalam dari para pemangku kebijakan serta masyarakat.

Bagaimana Media Sosial Mendorong Polarisasi Politik dan Menyebabkan Ketidakpastian

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Polarisasi Pemilih yang Tidak Terkendali

Media sosial, jika digunakan dengan tidak bertanggung jawab, memiliki kemampuan untuk mengelompokkan audiens ke dalam "echo chamber" atau ruang gema. Ini adalah kondisi di mana seseorang hanya mendapatkan informasi yang sesuai dengan keyakinan dan pandangan mereka. Hal ini mengakibatkan kurangnya pemahaman terhadap perspektif yang berbeda, memicu sikap intoleransi, dan pada akhirnya membentuk polarisasi yang tajam di antara pemilih.

Menurut studi dari Indonesian Political Review Journal (2023), lebih dari 45% pengguna media sosial di Indonesia telah menunjukkan preferensi politik yang ekstrem setelah terpapar konten kampanye yang berulang-ulang. Keadaan ini diperparah oleh algoritma platform yang dirancang untuk menampilkan konten yang serupa dengan yang sering kita konsumsi, tanpa memberikan ruang untuk perbedaan pendapat. Akibatnya, masyarakat terpecah menjadi dua kubu yang berseberangan, yang lebih banyak saling menyerang daripada berdiskusi secara sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun