Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Viral Tapi Mahal : Apakah Boneka Labubu Sekedar Tren FOMO atau Lambang Konsumerisme Berlebihan?

21 September 2024   20:07 Diperbarui: 21 September 2024   20:24 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Fenomena Labubu yang Menggemparkan

Siapa yang belum mendengar tentang boneka Labubu? Boneka mungil yang sempat viral ini tampaknya telah menjadi incaran kolektor dari berbagai kalangan, bahkan harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Ketenarannya tak terlepas dari peran media sosial, terutama saat boneka ini diunggah oleh Lisa BLACKPINK (IDN Times)(Republika Online). Namun, dengan harga yang cukup tinggi dan permintaan yang semakin meningkat, muncul pertanyaan penting: apakah boneka Labubu sekadar tren FOMO atau cermin dari gaya hidup konsumtif yang berlebihan?

Di satu sisi, Labubu menawarkan desain yang unik dan menggemaskan, dengan edisi terbatas yang sering kali menjadi buruan para kolektor. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa harga yang mahal menciptakan kesan eksklusivitas yang membuat orang rela mengeluarkan uang lebih hanya demi "ikut tren". Fenomena ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh FOMO dalam menentukan perilaku konsumsi di era digital (IDN Times).

Keterbatasan dan Tren FOMO

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Salah satu faktor utama yang membuat Labubu begitu diminati adalah keterbatasan stok dan eksklusivitasnya. Pop Mart, produsen Labubu, sering merilis edisi terbatas yang hanya tersedia dalam jumlah tertentu. Hal ini menciptakan efek kelangkaan, yang memicu keinginan untuk memiliki sebelum kehabisan. Dalam istilah psikologi, fenomena ini dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out), di mana orang cenderung merasa takut ketinggalan tren jika tidak segera berpartisipasi (Republika Online).

Namun, ada sisi lain dari masalah ini yang berkaitan dengan konsumerisme berlebihan. Beberapa ahli mengatakan bahwa fenomena seperti Labubu tidak hanya soal mengikuti tren, tapi juga tentang bagaimana konsumerisme sudah menjadi bagian dari identitas sosial. Banyak orang yang membeli barang bukan hanya karena fungsinya, tapi juga untuk menunjukkan status sosial mereka. Boneka Labubu dengan harganya yang mahal menjadi salah satu simbol eksklusivitas di tengah masyarakat yang sangat peduli dengan apa yang dilihat oleh orang lain (IDN Times).

Mengatasi FOMO dan Konsumerisme Berlebihan

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Jika kamu merasa tergoda untuk membeli boneka Labubu hanya karena takut ketinggalan tren, mungkin saatnya untuk berhenti sejenak dan berpikir. Tanyakan pada diri sendiri: Apakah aku benar-benar membutuhkan ini? Atau, apakah ini hanya dorongan sementara karena semua orang membicarakannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun