Di tengah gemerlapnya kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan kota metropolitan lainnya di Indonesia, ada satu pemandangan yang kian mencolok: tunawisma. Ketimpangan antara gedung-gedung pencakar langit dan kemewahan di perkotaan dengan kehidupan kaum tunawisma di trotoar atau kolong jembatan semakin jelas. Bagaimana kita sampai pada kondisi ini, dan apa solusi yang bisa kita lakukan?
Realitas Kesenjangan Sosial yang Terus Meluas
Kota-kota besar di Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Munculnya pusat perbelanjaan mewah, gedung-gedung apartemen eksklusif, serta gaya hidup kelas atas menjadi pemandangan umum. Namun, di balik kemajuan ini, jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Data terbaru menunjukkan bahwa angka tunawisma di Indonesia, khususnya di perkotaan, terus meningkat seiring dengan ketidaksetaraan ekonomi.
Tunawisma bukan hanya masalah kemiskinan, tetapi juga mencerminkan akses yang tidak merata terhadap sumber daya. Banyak dari mereka kehilangan pekerjaan, tidak memiliki akses ke pendidikan, atau terpinggirkan oleh sistem ekonomi yang semakin kompetitif (Pikiran Rakyat).
Faktor-faktor yang Memperburuk Kesenjangan
Pembangunan yang Tidak Inklusif: Perkembangan infrastruktur yang pesat sering kali tidak diimbangi dengan kebijakan sosial yang memperhatikan lapisan masyarakat bawah. Banyak proyek pembangunan perkotaan yang justru menggusur permukiman warga miskin, memperparah masalah tunawisma (AhaSlides).
Biaya Hidup yang Tinggi: Hidup di kota besar berarti menghadapi biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Banyak orang yang sebelumnya mampu bertahan dengan pekerjaan informal kini kehilangan tempat tinggal karena tidak sanggup lagi membayar sewa.
Keterbatasan Akses ke Peluang Ekonomi: Ketimpangan akses terhadap pekerjaan formal, pendidikan, dan layanan kesehatan membuat banyak masyarakat rentan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem, dan akhirnya kehilangan tempat tinggal (Pikiran Rakyat).