Di belantara pikiran, Madilog karya Tan Malaka menari-nari dengan ironi yang mendahului sistem epistemik Das Kapital. Buku itu, dengan elegansi logikanya yang bersenjatakan materialisme, dialektika, dan logika (Madilog), memandang Das Kapital Marx bukan sebagai sekadar teks ekonomi-politik, melainkan semacam manuskrip kosmis yang tersesat dalam labirin kapitalisme.
Tan, dengan Madilog-nya, seakan berkata pada Marx: "Engkau telah menciptakan gerbong ekonomi material, tetapi lupa bahwa logika para buruh itu tidak hanya berakar dari produksi, tetapi juga dari imajinasi." Marx, dalam diam abadi, menjawab melalui gemuruh surplus-value: "Imajinasi buruh itu sendiri adalah produk relasi produksi!"
Bayangkan Madilog sebagai senjata pamungkas, tombak anti-mistis yang mencoba menusuk ilusi kolektif agama dan dogma tradisional, namun tergelincir oleh licinnya nilai tukar yang Marx ciptakan dalam Das Kapital. Materialisme Madilog ingin melampaui logika ekonomi dengan kesadaran filsafat; tetapi Das Kapital mengikat materialisme itu kembali ke fondasi---bahwa sejarah bukanlah semata perjuangan ide, melainkan perjuangan kelas.
Di ruang absurd ini, Madilog menjadi filsafat jalanan yang berbicara di atas meja warung kopi: "Yang terpenting bukanlah hanya memahami dunia, tetapi juga mengubah logikanya!" Sementara Das Kapital, dengan buku setebal tembok, berdiri kaku seperti monumen yang tak pernah selesai, membisikkan: "Kau tidak bisa mengubah logika sebelum meruntuhkan infrastruktur ekonominya."
Namun, pertanyaan paling absurd hadir: Bagaimana bila Madilog dan Das Kapital adalah entitas yang sama dalam dimensi yang berbeda? Madilog adalah kritik-diri Das Kapital di wilayah tropis; Das Kapital adalah bentuk industrial Madilog di Eropa. Mereka saling menafikan, tetapi juga saling melahirkan dalam paradoks dialektis. Marx adalah Tan dalam cermin Eropa; Tan adalah Marx yang mencari kopi di tengah malam revolusi.
Akhirnya, dalam absurditas yang sublime, Madilog berteriak ke kekosongan: "Aku membakar mistisisme untuk logika!"
Dan Das Kapital menjawab: "Aku membakar logika untuk produksi!"
Sebuah sintesis lahir: Dialektika mistik-material yang membingungkan bahkan filsuf paling berani. Marx dan Tan menjadi satu, namun tetap dua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H