ujung senja, seorang pemuda menulis takdirnya,
Dengan tinta perjuangan di atas lembar fana,
Hidup baginya bukan sekadar hamparan waktu,
Tapi ruang penuh makna yang harus ia taklukan.
Ia melangkah dengan beban berlapis cahaya,
Menyusuri lorong ilmu yang tak bertepi,
Akalnya bagai pedang yang ditempa logam realitas,
Namun hatinya tetap mendamba kelembutan hikmah.
Setiap malam, pikirannya menjelma samudera,
Ia berenang di antara teori-teori Aristoteles,
Bertarung dengan tesis-tesis yang membentang,
Seolah-olah kebenaran itu api yang harus disentuh.
"Siapa aku?" bisik pemuda itu dalam sunyi,
"Adakah gelar sarjana ini puncak dari makna?"
Tapi langit menjawab dalam bahasa keabadian,
Bahwa pendakian adalah esensi dari jiwa manusia.
Maka ia menuntaskan bab demi bab,
Bertarung melawan waktu, kantuk, dan getir,
Namun setiap halaman adalah doa yang ia ukir,
Untuk dirinya dan peradaban yang belum bangkit.
Gelarnya kelak bukan sekadar untaian huruf,
Melainkan bukti bahwa ia pernah menjadi api,
Yang membakar keterbatasan hingga menjadi abu,
Dan dari abu itu, lahirlah ia sebagai makhluk baru.
Wahai pemuda, yang mencipta takdir di sudut ruang,
Teruslah berjuang, sebab sarjana bukan akhir,
Tetapi gerbang bagi makna-makna yang lebih dalam,
Sebab sejatinya, ilmu adalah perjalanan tanpa pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H