Mohon tunggu...
Ilham Akbar Darmawan
Ilham Akbar Darmawan Mohon Tunggu... -

Gemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembali ke Masjid

28 Februari 2016   16:08 Diperbarui: 14 April 2016   10:42 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masjid, mungkin hanya sebuah bangunan yang tidak menarik dimata mereka yang  tak membukakan hatinya untuk terpanggil lewat gema yang takkan berubah liriknya sampai kapanpun. Sebuah tempat yang suram apabila ditinggalkan oleh yang sepatutnya mengisi barisan dan sebuah tempat yang teramat damai mungkin bagi sebagian mereka yang telah menyerahkan sebagian besar akalnya memasuki dunia setelah dunia yang sekarang. Terlepas dari segala asumsi orang akan kekeramatan dan nilai mistis yang di kandung, penulis hanya ingin mencoba menerawang dengan khayal untuk menemukan sebuah kehangatan yang telah lama hilang dan menyebabkan pertikaian antara aktor-aktor politik muda dalam wadah yang juga tempatku bernaung melalui tempat suci ini.

Sebuah kerinduan akan kebersamaan yang dahulu sangat terasa mengisi keseharian seakan memaksa untuk memainkan kembali pikiran yang mulai jenuh ini untuk mencoba mencurahkan setidaknya secuil rangkaian kata sebagai bukti keterwakilan cinta masa silam itu. Bertolak dari alasan itulah penulis berharap lahir sebuah perenungan sebagai awal untuk kembali bergerak bangkit meninggalkan kelalaian yang menjerumuskan. Apa yang harus dilakukan ?

Sulit untuk menafikan kehadiran kehangatan setiap kali menghadiri sebuah majelis  atau perkumpulan yang kini sangat jarang kita temukan di dalam ikatan ini. Namun sekarang entah mengapa keberhasilan selalu di ukur dengan kedudukan personil di lembaga pemerintahan kampus yang sejauh ini belum sedikitpun memberikan manfaat menurutku, padahal posisi itu telah berulang kali didapatkan.

Bukan hanya itu, Kesadaran akan rasa memiliki juga harus kita akui telah mulai terkikis seiring merebaknya kebiasaan-kebiasaan pragmatis yang kian sering di praktikkan. Sebenarnya bukan anti dengan kegiatan politik kampus yang cukup menggiurkan bagi sebagain orang itu, melainkan ada sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum berangkat ke ranah itu.

Sedikit konfirmasi, Terlalu naïf mungkin untuk mengatakan “Tidak mau terlibat dalam urusan politik” karena sejatinya itu merupakan tujuan akhir dari sebuah pergerakan. Tidak juga ingin dikatakan sebagai orang yang menutup mata akan isu politik kampus yang kini terlihat kaku itu, karena darah dalam tubuh ini juga mengandung setidaknya sedikit bau politik yang teramat kental. Dan aku juga telah lebih dulu hafal jauh-jauh hari sebuah mars partai politik sebelum kunyanyikan mars ikatan ini dengan penuh khitmat. Bukan ingin menyalahkan keterlibatan beberapa oknum dalam ikatan ini, karena sejatinya pilihan karir adalah hak yang mutlak, dan pikiranku telah menerawang jauh pikiran-pikiran yang saat ini mulai berfikir ini adalah sebuah kecemburuan. Namun penulis mencoba untuk menegaskan,bahwa ini hanya bagian dari pemicu akal untuk memberikan sebuah komentar dan aksi akan pandangan yang terlontar ini.

Mungkin orang kerap kali menggunakan peribahasa “Sambil menyelam minum air”, artinya melakukan lebih dari satu  pekerjaan bersama-sama dalam satu waktu. Tidak jauh berbeda dengan keadaan yang mungkin di alami IMM unimed saat ini, satu sisi kita bercita-cita untuk membesarkan nama ikatan ini dan disisi yang lain kita juga ingin menunjukkan eksistensi kita dengan memasuki lembaga pemerintahan yang di gandrungi dengan misi kedepan dapat menjadi sebuah kepentingan termasuk lah disitu perekrutan yang selalu saja jadi janji manis.

Bagiku tidak semua persoalan pelaksanaan pekerjaan rangkap dapat dianalogikan dengan peribahasa itu, senada dengan yang dikatakan kang jalal sebagai “Fallacy of dramatic instance”[1], dan permasalahan ini adalah salah satunya, namun sayang sebagian besar dari kita justru menikmati kesalahan umum itu. Terkadang hal itu justru menimbulkan pertanyaan, “masih pantaskah kita disebut gerakan intelektual?”.

Pendidikan Politik

Sebuah tanaman haruslah diberi pupuk yang cukup untuk mendapatkan buah yang berkualitas, Sebuah senapang tentunya harus diisi peluru supaya bisa menembak, dan sebuah tulisan haruslah diciptakan sebelum dibacakan. Segala sesuatu haruslah direncanakan agar bisa tepat sasaran dan tetap setimbang, selain itu juga harus tetap fokus untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi tujuan bersama. Tak banyak dari kita yang mau untuk mengakui bahwa terkadang tujuan kita tidak dibarengi dengan persiapan atau perencanaan yang sesuai, namun penjelasan ini mungkin bisa menjadi bahan perbaikan. Dimana ketidaksesuaianya?.

Politik adalah ruangan yang kompleks yang dipengaruhi dengan hubungan-hubungan yang kompleks pula, termasuklah didalamnya latar belakang, agama, ras, suku, jurusan, dan lain sebagainya. Pemilihan Raya yang merupakan sebuah pesta demokrasi menyuguhkan pemandangan politik yang bisa dibaca dari segala sudut pandang tergantung kapasitas intelektual orang yang memandangnya. Setiap bendera mempunyai gaya yang berbeda-beda untuk mendapatkan satu tujuan yang sama, ada gaya preman, pendekatan verbal, pendekatan agama dan lain sebagainya. Kesemuanya sah-sah saja karena politik adalah seni.

Namun apapun itu yang dipakai, hanya ada satu kunci yang menjadi penentu, dia adalah Massa. Yang menjadi permasalahan adalah, kita sama sekali tidak punya persiapan yang benar-benar matang dan serius untuk menjadi pemenang. Kecenderungan akan sesuatu yang instan dan keberhasilan(walaupun sebenarnya adalah kegagalan) yang pernah diraih secara instan masih saja menjadi andalan untuk menghadapi perhelatan yang selanjutnya. Yang harus dibenahi adalah pemetaan politik, meliputi penetapan kader sesuai bakat dan kemampuan, penanaman ideology ikatan, dan pembekalan intelektual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun