Mohon tunggu...
Isna IlhamNur
Isna IlhamNur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Tidak ada kata nanti untuk hari ini

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Wajah Lain Sastra Wangi oleh Dewi Lestari

1 Agustus 2023   18:00 Diperbarui: 1 Agustus 2023   18:03 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dokumen Pribadi

Filsuf wanita pada abad ke-6 telah membahas mengenai seks dalam karya sastranya. Salah seorang filsuf yang membahas seks pada masa itu adalah Sappho. Sappho menganggap bahwa cinta dalam bentuk apapun, kasih sayang orang tua atau seks, dianggap sebagai jalan menuju kebenaran. Karya sastra Sappho yang membahas mengenai seks ini terhitung cukup banyak, terdapat sekitar 300 puisi yang ia ciptakan. Namun, adanya karya sastra tersebut tidak memicu lahirnya istilah sastra wangi pada perkembangan sastra saat itu.

Sastra wangi bukanlah istilah yang semata-mata muncul berdasarkan karya sastra itu sendiri. Istilah sastra wangi awalnya muncul dari pertanyaan wartawan kepada sastrawan wanita yang karyanya laku keras dipasaran. Istilah sastra wangi muncul karena karya sastra itu dituliskan oleh wanita cantik dari kelas menengah atas. Karya sastra yang dimaksud membahas mengenai seksualitas dengan bahasa yang vulgar. Bahkan, dalam karya tersebut disebutkan beberapa nama alat vital dengan gamblang. Namun, sastra wangi tidak hanya diartikan sebagai karya sastra yang dihasilkan oleh wanita cantik kalangan atas. 

Wanita cantik kelas menengah atas hanyalah pendukung kemunculan istilahnya saja. Sastra wangi dapat diartikan sebagai karya sastra yang ditulis oleh sastrawan wanita yang membahas seksualitas yang masih dianggap tabu oleh khalayak dan merupakan bentuk perjuangan wanita dalam kesetaraan gender.

Kelahiran sastra yang dicampurkan dengan seksualitas menimbulkan perlawanan dari beberapa sastrawan. Kontroversi mengenai hal tersebut sebenarnya sudah ada dari awal munculnya pemikiran yang dituangkan oleh Sappho pada puisinya abad ke-6. Karya sastranya dianggap tidak pantas dan tidak bermoral. Hal itu tidak jauh berbeda dengan masa lahirnya sastra wangi Ayu Utami dan Djenar Maesa.

Salah satu sastrawan yang menolak kehadiran sastra wangi adalah sastrawan senior, Taufiq Ismail karena penulis perempuan berlomba mencabulkan dan menceritakan adegan ranjang dengan sangat jelas serta penggunaan bahasa yang sangat vulgar. Selain itu, sastra wangi dengan bahasa vulgar juga menodai kesusastraan indonesia yang jelas bertentangan dengan sastra profetik dan lahirnya sastra anak.

Novel yang berjudul Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh merupakan salah satu karya sastra wangi yang ditulis oleh Dewi Lestari atau yang sering disebut Dee. Dewi Lestari menyajikan sastra wangi dalam bentuk baru melalui novel ini. Di Tengah panasnya sastra wangi yang membahas mengenai seksualitas dengan bahasa vulgar dan menyuguhkan adegan ranjang dengan begitu jelas, Dewi Lestari tidak begitu berfokus pada seksualitas yang vulgar. Namun, Dewi Lestari tetap menyajikannya dengan cara berbeda dan tetap ingin menyampaikan kepada pembaca sudut pandang wanita mengenai seksualitas melalui tokoh yang bernama Diva. 

Diva yang diceritakan sebagai pelacur kelas kakap yang berwawasan luas dan memiliki pola pikir unik. Bahkan, melalui tokoh Diva penulis memberikan kritikan tidak langsung pada manusia yang menganggap uang adalah segalanya, tidak berbeda dengan pelacur.

Isna Ilham Nur Rizki Mahasiswa PBSI FKIP UAD

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun