Mohon tunggu...
ilham fakhri
ilham fakhri Mohon Tunggu... Guru - mahasiswa

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said. Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjual Daging Kurban dalam Tinjauan Tafsir Kontemporer

28 Mei 2024   22:10 Diperbarui: 28 Mei 2024   22:28 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Salah satu isu yang kerap menjadi perdebatan dalam tafsir kontemporer adalah hukum menjual daging kurban. Dalam QS. Al-Hajj ayat 28, Allah SWT berfirman: "Maka makanlah Sebagian darinyaa (hewan kurban) dan (Sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan oleh orang-orang yang sengsara dan fakir."

Dari ayat tersebut para ulama, terutama dari madzhab Syafi'iyah, menetapkan batasan-batasan terkait kurban (selain kurban nadzar). Mereka menganjurkan agar orang yang berkurban mengonsumsi sedikit bagian dari daging kurban yang telah disembelih secara sederhana, sementara sisanya dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Lebih lanjut, ulama melarang penjualan daging kurban, tanduk, lemak, kulit, dan bahkan jeroannya, meskipun penjualan tersebut ditujukan untuk menutup biaya penyembelihan, seperti upah untuk tukang jagal dan biaya lainnya.

Secara umum, para mufasir klasik melarang penjualan daging kurban dengan alasan bahwa kurban merupakan ibadah yang manfaat dan dagingnya tidak seharusnya dijadikan komoditas perdagangan. Mereka merujuk pada hadits yang secara tegas melarang memperjualbelikan daging kurban. Namun, sejumlah mufasir kontemporer mengajukan penafsiran yang lebih luwes dan kontekstual, sesuai dengan realitas masyarakat modern saat ini. Salah satu di antara mereka adalah Yusuf Al-Qaradhawi, seorang ulama kontemporer asal Mesir, yang memperkenalkan tafsiran lebih fleksibel mengenai hal ini.

Menurut pendapat Al-Qaradhawi, panitia qurban diperbolehkan menjual daging kurban dengan memenuhi beberapa persyaratan. Syarat pertama, penjualan daging kurban baru dapat dilakukan setelah kebutuhan konsumsi pribadi dan pembagian daging kepada kerabat dan tetangga terdekat sudah terpenuhi terlebih dahulu. Syarat kedua, hasil penjualan dari daging kurban tersebut harus disedekahkan atau disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak menerima sedekah, seperti kaum fakir miskin dan kelompok kurang mampu lainnya. Selain itu, Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa kaum fakir dan miskin boleh menjual daging kurban yang sudah menjadi haknya untuk ditukar dengan keperluan lainnya.

Pendapat Al-Qaradhawi didasarkan pada prinsip maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat Islam) dan kaidah fikih yang menyatakan bahwa "hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, dan kondisi." Dia menganggap bahwa pada zaman modern ini, banyak keluarga yang tinggal di perkotaan dan tidak memiliki cukup kapasitas untuk mengonsumsi seluruh daging kurban mereka, yang dikhawatirkan jika daging tersebut tidak dimanfaatkan dengan cara dijual atau disedekahkan akan menimbulkan mubadzir. Mengutip dari ayat lain, yakni QS. Al-Baqarah: 267 yang di dalamnya menjelaskan bahawa Allah swt memerintahkan umatnya untuk menyedekahkan sebagian dari apa yang baik. Dengan menjual daging kurban dan menyedekahkan hasilnya, maka seseorang telah memenuhi tujuan ibadah kurban yaitu berbagi dengan orang lain.

Menurut beberapa ulama kontemporer lainnya, seperti Wahbah Az-Zuhaili dan Syaikh Ali Jum'ah. Mereka berpendapat bahwa penafsiran yang lentur ini sejalan dengan prinsip kemudahan (tasyir) dalam syariat Islam. Meskipun demikian, pandangan yang membolehkan penjualan daging kurban menuai kritikan dari kalangan yang cenderung konservatif. Kelompok ini mengkhawatirkan bahwa kebolehan menjual daging kurban berpotensi menghilangkan esensi dan semangat ibadah kurban itu sendiri, yang seharusnya merupakan ibadah yang murni dan tulus semata-mata karena Allah, tanpa adanya unsur komersial di dalamnya.

Perdebatan mengenai hukum menjual daging kurban ini membuka pandangan kita terkait dinamika penafsiran Al-Qur'an di era modern. Di satu sisi, terdapat upaya untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an agar sesuai dengan konteks dan realitas kehidupan masa kini. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa penafsiran tersebut dapat menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya.

Diskusi ini menjadi sangat penting untuk dilakukan guna menemukan titik temu yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat modern tanpa harus mengorbankan esensi dan semangat dari ajaran Islam itu sendiri. Tafsir Al-Qur'an kontemporer diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara teks suci dengan realitas sosial yang terus berkembang di masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun