Bangsa dan Negara Indonesia lahir dari sejarah panjang dengan keanekaragaman serta kompleksitas kehidupan (multi level complexity) masyarakat seperti; karakter, adat, budaya, kepercayaan, seni dan bahasa. Walaupun tersebar di seantero nusantara, tetapi sejak awal telah memiliki cara pandang yang sama. Minimal kesamaan itu dapat ditemui dalam tradisi, budaya dan adat saat menjalankan praktik-praktik kehidupan dan spiritual, dengan modal itu maka para leluhur bersepakat untuk membentuk suatu peradaban. Kita tentu memahami dalam membentuk peradaban diperlukan kesamaan karakter, ide, gagasan, cara pandang dan tujuan, kemudian secara bersama-sama sepakat dan meyakini segala aturan untuk menjalankan sistem kelembagaan tersebut, dan yang terpenting ialah harus memiliki pemimpin kharismatik yang menjadi tokoh besar, berperan penting dalam peradaban itu. Dalam konteks ini, kita harus mengakui bahwa sistem kehidupan tersebut pada dasarnya sudah dipraktekan oleh para leluhur pendahulu Nusantara.
Tidak mengherankan Indonesia merupakan Negara yang luas dengan 3 pembagian zona waktu, membentang dari Timur Pulau Papua sampai Barat Pulau Sumatera. Â Jika ditarik garis lurus, total jarak wilayah darat dan laut Indonesia sejauh 5.245 Km, jarak ini lebih besar jika disandingkan dengan ukuran diameter bulan yang hanya sepanjang 3.474 Km. Itu artinya Neil Armstrong ketika berdiri di bulan melihat Indonesai lebih besar dari pada dia melihat bulan saat ada di bumi. Bahkan jika dibandingkan posisi geografis Indonesia, maka luas wilayah daratan dan lautannya kurang lebih sama dengan seluruh wilayah daratan Eropa dan hampir sama dengan USA dan Benua Australia. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam, mineral, tradisi, budaya dan adat yang besar, terdapat kurang lebih 1.340 kelompok etnik atau suku bangsa dan 720 bahasa daerah yang tersebar di seluruh wilayah. Namun uniknya setiap etnik di Indonesia memiliki konektivitas budaya dan tradisi dengan jalinan yang saling terikat, walaupun dipisahkan oleh wilayah kepulauan. Sistem ini kemudian berkembang dan dijalankan oleh masyarakat tradisional Indonesia dalam bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang mengatur tentang etika, norma, perilaku dan nilai-nilai kebaikan antar sesama manusia, manusia dengan alam dan dengan pencipta jauh sebelum agama dikenal. Hal ini mengindikasikan bahwa dinamika kehidupan masyarakat Indonesia sangat majemuk di hampir seluruh lapisan kehidupan dan memiliki banyak kesamaan sejak awal.Â
Harus diakui bahwa kearifan lokal yang kita miliki sejatinya merupakan kekuatan besar yang mampu menjaga Indonesia bertahan dari setiap upaya disintegrasi bangsa oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan kita bercerai-berai. Pertanyaannya apakah kita menyadari potensi itu dan bangga memiliki peradaban yang tinggi ini? Jika hal ini diragukan oleh bangsa dan negara asing mungkin sah saja, karena setiap wilayah memiliki kebanggaan atas wilayahnya, namun jika kita sendiri yang menolak, tidak mengakui bahkan underestimate terhadap anugrah itu maka mari bertanya rasa nasionalisme dalam diri kita masing-masing atau bahkan jangan-jangan kita tidak memahami sejarah peradaban yang maha tinggi dan pernah ada di negeri kita sendiri. Hal ini bukan sekedar cerita dongeng sebelum tidur atau cocoklogi saja tetapi bukti ilmiah dari rangkaian riset berbagai disiplin keilmuan dan peneliti nasional bahkan internasional (antropologi, sosiologi, geologi, arkeologi, oseanologi, bahkan biologi tentang DNA masyarakat Indonesia). Sebelum menjelaskan lebih jauh saya ingin mengjak kita untuk memahami bagaimana sejarah harus di tempatkan sesuai kebenaran tanpa rekayasa dan egoisme pribadi maupun kelompok. Pendapat filusuf Romawi Marcus Tullius Cicero mungkin dapat membuka mata kita untuk berani mengakui kebenaran sejarah di suatu masa. Dalam pandangannya dia mengatakan bahwa; Sejarah adalah Magistra Vitae (the first law of history is to dread uttering a falshood; the next not to fear starting the truth), bahwa "hukum pertama dalam sejarah adalah sunggung-sungguh takut mengatakan dusta; untuk selanjutnya berani menyatakan kebenaran".
Inikah saatnya kita berargumentasi, bahwa sudah waktunya sejarah peradaban manusia yang telah berkembang hingga saat ini perlu kaji ulang, karena sudah tidak relevan lagi dan perlu dilakukan revisi? Salah satu point mendasar yang dapat digunakan ialah bukti sejarah/data/dukumen/kisah-kisah lama yang menjelaskan tentang peradaban tertua di dunia yang merujuk pada kebudayaan bangsa Mesir kuno, Mesopotamia, Inca, Maya, Mongolia dll yang diklaim sekitar 5000 hingga 3000 SM sudah tidak lagi relevan dan perlu ditinjau kembali. Sejarah yang telah ditulis saat ini merupakan hasil tulisan sejarawan/peneliti asing melalui kajian ilmiah atau juga dari cerita rakyat yang dideskripsikan sebelumnya. Tentunya ada plus minus dalam tulisan tersebut, tetapi harus diakui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat tentu mendorong berbagai upaya untuk membuktikan kebenaran dilakukan melalui metode dan teknologi maju.Â
Dalam prespektif ini perlu kita pahami bahwa, pengetahuan personal manusia adalah kesadaran epistimologis dalam diri sendiri, lalu memunculkan kesimpulan subidealisme subjektif, maka tidak mengherankan bahwa kebenaran setiap manusia sangat variatif. Di sisi lain dimensi ontology membuka ruang lingkup untuk memahami bahwa kebenaran absolute manusia sulit diperoleh secara personal tanpa pengetahuan (knowledge) yang telah ada sebelumnya dan terdapat kemungkinan lain bahwa kebenaran manusia juga dapat dipengaruhi oleh entitas lain yang hadir secara abstrak atau metafisik untuk menjelaskan kebenaran (Wahyu illahi). Dalam ipmlementasinya pengetahuan harus melekat pada etika, moral, norma, kesadaran terhadap perilaku baik dan buruk untuk menjaga pengetahuan tetap ada dalam koridornya (aksiologi). Suka atau tidak suka ilmu pengetahuan modern yang berkembang sampai saat ini telah jauh meninggalkan sumber pengetahuan itu sendiri (Filsafat). Dalam pandangan global, science modern yang didominasi oleh pihak barat dianggap sebagai giant corporation/enterprise, oleh karenanya tidak semua teknologi dan temuan yang telah dilakukan sebelumnya, bahkan dipublikasi dalm bentuk produk dari science modern mutlak diterima dan diakui begitu saja, melainkan dapat di bongkar untuk kemudian dipahami rantai logika yang melatarbelakanginya dan menyesuaikan dengan nilai-nilai pengetahuan lokal yang dimiliki, sehingga pengetahuan tetap berada dalam jalur yang benar.Â
Tidak ada salahnya kita patut bertanya, perkembangan teknologi maju saat ini, apakah memberi dampak positif untuk kemaslahatan manusia secara universal atau hanya untuk kepentingan komunitas tertentu saja (kapitalis dan hedonis). Rekayasa teknologi digaungkan dengan tujuan untuk mempermudah dan membantu manusia menjalankan kehidupannya di bumi, tujuan akhirnya adalah kesejahteraan. Namun apakah kesejahteraan itu hanya berkaitan dengan ekonomi (fisik), kenyataannya dalam memenuhi unsur kesejahteraan manusia memerlukan kenyamanan, ketentraman dan keamanan yang datang dari ketenangan hati (kalbu) dan hanya diperoleh melalui kesadaran tertinggi atas etika, moral dan norma yang baik dalam kehidupan.
Salah satu alasan mengapa sejarah peradaban dunia perlu ditinjau kembali ialah, hasil riset arkeologi, geologi, sosialogi dan antropologi saat ini paling tidak telah membuktikan bahwa Indonesia (kata yang kita kenal saat ini) merupakan induk peradaban dunia yang usianya sekitar 10.000 - 25.000 tahun SM. Bukti ini telah terkonfirmasi dari sampel batuan geologi dan tanah di situs Gunung Padang (Hermawan & Hilman, 2016) dan cap tangan manusia di Goa Leang-Leang Maros Sulawesi Selatan (Raspati, 2022). Data ilmiah ini juga belum selesai, karena uji carbon untuk mendeteksi usia tertua masih diambil pada lapisan permukaan, belum jauh ke lapisan tengah bahkan sampai di dasar lapisan terakhir. Artinya bangsa Indonesia harus bangga, bahwa bumi yang saat ini kita tempati dan menjadi tanah tumpah darah bersama merupakan tempat lahirnya seluruh peradaban di dunia. Â Dalam prespektif itu maka sebagai bangsa yang telah melahirkan pereadaban dunia tentu memiliki karakteristik dan dinamika masyarakat yang sangat tinggi keberagamannya.
Untuk mengetahui lebih jelas, maka perlu kita pahami bagaimana peradaban itu berkembang dari masa ke masa. Peradaban adalah hasil dari interaksi kompleks antara manusia, lingkungan, nilai-nilai budaya, dan zaman yang membentuk pola kehidupan sebuah masyarakat. Peradaban juga dapat diartikan sebagai kebudayaan yang tertinggi dalam kehidupan manusia. Artinya peradaban itu memiliki nilai yang sangat fundamental terhadap perjalanan sejarah kehidupan, mampu membuat refleksi dan kontemplasi untuk mendekatkan manusia menyimbangkan kebaikan dan keburukan, salah satunya adalah budaya, karena budaya akan menghasilkan karya, cipta, dan rasa dari masyarakat yang dipelajari dan diwariskan secara turun temurun. Dulu sejak awal bapak manusia di ciptakan oleh Tuhan (Nabi Adam) kita belum mengenal agama seperti saat ini, namun bukan berarti karena tidak ada agama kemudian hubungan manusia dengan tuhan menjadi terpisah atau bahkan tidak ada sama sekali. Agama sebagai keyakinan yang dipercaya baru diketahui dan kemudian diikuti ajarannya kurang lebih 1500 -- 2000 tahun lalu. Hal ini menjelaskan bahwa harmonisas manusia dan pencipta termasuk alam semesta sudah terjalin jauh sebelum agama ini turunkan di muka bumi yang kemudian kita mengenalnya dengan nama Tauhid.
Usia bumi saat ini kurang lebih 3.5 -- 4 milar tahun, namun kitab-kitab tertua umat manusia awal yang tercatat dan menjadi dokumen outentik juga sering kali juga menjadi konspirasi, memberikan informasi bahwa pada periode waktu sebelum 12 ribu tahun lalu dan bahkan jauh sebelumnya, diketahui bahwa bumi sudah ditempati oleh makhluk lain sebelum manusia (Nabi Adam), penguhuni bumi tersebut telah menempati alam ini, secara silih berganti, namun banyak di antara mereka membuat kerusakan dan pertumpahkan darah (Saihu, 2019; QS. Al Baqarah Ayat 30-33). Pernyataan banyak diantara mereka, menjelaskan bahwa tidak semua berperilaku buruk melainkan tersirat makna bahwa ada kelompok yang baik namun kebanyakan mereka berperilaku jahat dan merusak. Dari pandangan ini dapat kita integrasikan bahwa manusia membentuk peradaban bukan dengan agama, tetapi dengan adat dan budaya yang didalamnya mendeskripsikan tentang keyakinan kepada Pencipta Alam Semesta (Tuhan).
Indonesia yang kaya dengan berbagai latar berlakang sejarah, tradisi, suku, bangsa, budaya dan adat yang tersebar di seluruh Nusantara tentu dapat menjadi alasan kuat bahwa negara ini merupakan induk peradaban dunia. Fenomena ini akan terus mengemuka dari waktu ke waktu seiring dengan semakin besar dan terkenalnya Indonesia di mata internasional. Tuhan tentu memiliki cara tersendiri yang bisa saja di luar dari kekuasaan setiap makhluk untuk membuka kebenaran tentang peradaban Indonesia suatu waktu, "nol harus kembali ke nol" dari titik awal akan kembali ke titik awal untuk menjadikan suatu objek berbentuk.
Berdasarkan kontekstual itu maka Indonesia sebagai awal peradaban manusia lahir bersamaan dengan kebudayaan, memiliki cipta dan rasa yang sejatinya adalah mewakili akal dan kalbu (hati), lalu kemudian dalam perkembangannya membentuk keyakinan secara spiritual, diatur dan dilegitimasi dalam bentuk agama, dengan tujuan agar manusia memiliki pandangan dan pegangan selama menjalani kehidupan di bumi. Peradaban manusia di masa mendatang akan penuh dengan segala tantangan dan semakin rumit, sehingga diperlukan agama melalui utusan Tuhan yang diturunkan. Dengan agama maka orang memiliki dasar berkeyakinan dan kemudian dapat hidup secara teratur sesuai petunjuk-petunjuk spiritual, yang tidak lain didesain untuk menangkal perubahan paradigma manusia yang mulai terkikis perlahan bergeser dari zaman penciptaan manusia awal (imfb).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H