Arah kebijakan pembangunan nasional mengalami perubahan sejak tahun 2007 dengan menginisiasi pendekatan berbasis kewilayahan melalui Undang undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Instrumen awal sebagai tindak lanjut ialah RTRW, memuat peraturan zonasi (zoning regulation), yang secara eksplisit mengatur penggunaan lahan yang diperbolehkan/diizinkan, pemanfaatan diperbolehkan berysarat dan bersyarat tertentu serta yang tidak diperbolehkan. Dokumen ini merupakan legitimasi prosedural wajib oleh pemerintah daerah mengelola dan memanfaatkan ruang dalam wilayah adminstratif.Â
Harus diakui bahwa Pembangunan daerah mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan pembangunan idealnya mengacu pada perencanaan tataruang agar tercipta harmonisasi kegiatan pembangunan wilayah administrasinya. Amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja kepada Provinsi/Kabupaten/Kota tertuang pada pasal 17 angka 2 pasal 6 ayat (6) telah memperkuat paradigma keterpaduan ruang darat, laut, udara dan dalam bumi merupakan satu kesatuan. Penegasan itu juga tertuang pada pasal 18 angka 3, pasal 7A ayat (1) bahwa RZWP3K terintegrasi dengan RTRWP dan ayat (2) dalam hal RZWP3K sudah ditetapkan pengintegrasian dilakukan pada saat saat peninjauan kembali dan revisi RTRWP, pada pasal 9 ayat (5), RZWP3K yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah telah dihapus. Lebih lanjut pasal 245 huruf (b) Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 2021 tentang penyelenggaran Penataan Ruang, menjelaskan bahwa RZWP3K diintegrasikan dalam RTRWP. Berdasarkan regulasi yang ada saat ini maka seharusnya membuka peluang besar pada daerah dengan karakteristik wilayah pesisir dan kepulauan untuk menyusun kembali tata ruang wilayah secara terpadu dengan pendekatan lebih scientific. Â
Realisasi dalam perencanaan ruang darat dan laut ialah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui keterpaduan wilayah. Perlu kita pahami bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan tindakan secara sadar dan terencana untuk memadukan aspek ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, diperkuat dengan kebijakan politik yang bijaksana melalui strategi pembangunan holistik untuk menjamin keutuhan ekologis dan keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, serta kualitas hidup generasi masa kini juga generasi mendatang. Dalam penjabarannya Daerah mempunyai dokumen perencanaan tataruang wilayah darat (RTRW) kewenangan pelaksanaan berada di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota juga dokumen perencanaan tataruang laut (RZWP3K) berada di level Provinsi. Memahami penataan ruang darat maupun laut tidak dapat dilakukan secara parsial. Kesalahan masa lalu yang menempatkan ruang wilayah menjadi terpisah-pisah membuat arah pembangunan wilayah sulit berjalan secara harmonis tidak hanya pada level atas tetapi berpengaruh hingga menyentuh level akar rumput. Untuk itu integrasi RTRWP dan RZWP3K jangan menjadi sesuatu yang alergi, namun harus terbuka (open minded), mari kita coba telaah bagaimana integrasi ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keseimbangan pembangunan jangka panjang.
Sebagai Negara kepulauan terbesar tidak mengherankan jika Indonesia memiliki karakteristik sosial, budaya, ekonomi dan ekologis yang berkaitan dengan pesisir dan laut. Hal ini terkonfirmasi jika mengamati pola pemukiman penduduk yang tidak menyebar secara merata di seluruh daratan pulau, tetapi mengelompok di bagian pesisir. Lebih dari 160 juta jiwa atau > 60% masyarakat Indonesia menempati wilayah pesisir, artinya sebagian besar dari mereka menggantungkan kehidupan sehari-hari pada kawasan ini. Secara ekologis sumberdaya pesisir dan laut memiliki keanekaragaman yang tinggi dan potensial dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga pertumbuhan ekonomi daerah. Pada tahun 2024 pemerintah melalui KKP-RI Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan pada kisaran 5-6 persen (Antara, 2024) target ini belum menyentuh pada sektor jasa kelautan dan pariwisata bahari. Sekitar >50 % PDB Indonesia berasal dari hasil pemanfaatan sumber daya pesisir dan jasa-jasa lingkungannya. Sumberdaya pesisir Indonesia merupakan pusat biodiversitas laut tropis terkaya di dunia, dimana 30 % hutan bakau dunia ada di Indonesia; 30 % terumbu karang dunia ada di Indonesia, 60 % konsumsi protein berasal dari sumberdaya ikan, 90 % ikan berasal dari perairan pesisir dalam 12 mil laut dari garis pantai (shoreline). Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah multiguna dan sektor memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir. Namun disisi lain kawasan pesisir dan laut sangat rentan terhadap perubahan lingkungan seperti abrasi dan penerima dampak dari daratan seperti deforestasi, erosi dan sedimentasi serta eutrofikasi. Wilayah pesisir saat ini mempunyai tingkat kerusakan biofisik mengkhawatirkan karena 42 % terumbu karang rusak berat, 29 % rusak, 23 % baik dan 6 % sangat baik, 40 % mangrove telah rusak dan 40 % gisik (beach) telah mengalami abrasi.
Paling tidak ada tiga aspek untuk membuka pemahaman kita bagaimana pentingnya integrasi wilayah darat dan laut penting dilakukan yaitu; 1). Wilayah pesisir merupakan multiple use zone dimana terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan serta terdapat lebih dari dua macam pemanfaatan kawasan pesisir. Wilayah pesisir tersusun atas ekosistem alami yang unik, eksotik, bervariasi dan potensial untuk kesejahteraan masyarakat, namun disisi lain memiliki kerentanan yang tinggi terhadap penurunan fungsi ekosistem dan kehilangan sumberdaya alam. Dengan pengelolaan yang baik melalui integrasi wilayah darat dan laut diharapkan kemungkinan kerusakan eksosistem dan sumberdaya alam secara besar dalam jangka panjang dapat diminimalisir untuk selanjutnya melakukan restorasi fungsi tersebut; 2). Karakteristik dan dinamika alamiah the nature resources pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas. Jasa Ekosisitem (ecosystem services) pesisir dan laut memiliki fungsi penyedia sumberdaya alam (provisioning) banyak nilai manfaat langsung seperti bahan baku makan, obat—obatan, material bagunan dll yang dapat diperoleh dari hutan mangrove, terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea grass) dan pasir pantai (sand beach); fungsi pendukung (supporting) untuk kehidupan berbagai jenis organisme, siklus nutrien alami; fungsi pengaturan (regulating) mengendalikan abrasi, sedimentasi, banjir, gelomabang pasang, tsunami; fungsi budaya (cultural) menyediakan panorama yang eksotik, unik dengan berbagai tradisi, religion dan budaya untuk memberikan ketenangan dan kepuasaan batin.
Proses pengelolaan, pemanfaatan dan pembangunan yang terjadi pada lahan atas (daratan) sangat berperan menentukan perubahan struktur ekologis, ekonomi bahkan sosial budaya yang berada di wilayah pesisir. Pengembangan struktur dan pola ruang di wilayah daratan seperti; transportasi, komunikasi, jalan, jembatan, pemukinan, industri, pertambangan dan pemanfaatan lain secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap perubahan wilayah pesisir. Banyak yang belum menyadari bahwa degradasi kawasan pesisir dan laut sebagian besar bersumber dari aktivitas yang terjadi pada lahan atas, bahkan pada wilayah yang telatif jauh dari pesisir; 3) Wilayah pesisir dihuni more than one ethnic group dengan preferensi mata pencaharian yang berbeda. Artinya bahwa kawasan pesisir memiliki banyak kepentingan dalam upaya pemanfaatan ruang. Kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam adalah sifat alamiah yang substansial melekat dalam kehidupannya sepanjang manusia menempati bumi ini. Sifat sumberdaya alam sebagai common pool resources dan open accsess mendorong setiap orang berkeinginan melakukan pemanfaatan. Suka atau tidak suka harus disadari bahwa upaya penataan ruang darat dan laut dimaksudkan untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa ekosistem yang terkandung dalam wilayah tersebut sehingga berjalan harmonis dan bermanfaat luas pada semua lapisan masyarakat, bukan hanya pada sekelompok orang atau komunitas tertentu. Perencanaan ruang yang salah pada tingkat RTRWP dan RZWP3K dapat berdampak pada permasalahan ketimpangan peruntukan dan tatakelola ruang yang pada akhirnya akan menghambat pembangunan suatu daerah.
Integrasi RTRWP dan RZWP3K dapat dimaknai sebagai upaya sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah daratan yang harus memperahtikan dampak langsung maupun tidak langsung pada wilayah pesisir dan laut sampai batas 12 mil laut. Bahwa aktivitas pada lahan atas daratan sangat berdampak terhadap perubahan pada aspek ekologis, sosial, budaya dan ekonomi di kawasan pesisir. Kawasan pesisir merupakan wilayah yang saling terkoneksi secara luas pada wilayah lain, kerusakan satu kawasan akan berdampak luas pada kawasan lainnya. RTRW/RTRWP bukanlah kitab suci yang tidak dapat ditinjau ulang jika diperlukan penyesuaian dan pembenahan. Sesuai amanat UU Cipta Kerja, maka peninjauan kembali RTR dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahunan apabila terjadi perubahan lingkungan strategis salah satunya perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. Sudah saatnya Pemerintah Daerah khususnya dengan karakteristik wilayah pesisir dan kepulauan dapat melakukan peninjauan kembali dokumen RTRWP dan mengsinkronkan dengan RZWP3K, untuk mendapatkan manfaat yang lebih luas secara regional dan nasional dalam jangka panjang. Pendekatan yang sebelumnya berbasis dari darat ke laut (from land to sea) sebaiknya disesuaikan kembali melalui pendekatan dari laut ke darat (from sea to land). Artinya sejak tahap perencanaan ruang di wilayah darat sudah harus memikirkan dampak yang akan terjadi pada kawasan pesisir dan laut. Untuk itu diperlukan kelengkapan dan validitas data potensi sumberdaya alam pesisir dan laut, fungsi-fungsi ekologis dan status pengelolaan kawasan (imfb).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H