Ya, judul di atas tentu mengingatkan Anda pada sebuah buku karangan Eko Prasetyo yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2004. Buku ini menyuguhkan kritik yang disertai gambar satire alias sindiran atas kenyataan hidup masyarakat yang semakin terbebani dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menimbulkan munculnya beberapa penyakit ditengah masyarakat serta sistem kesehatan yang semakin kapitalis dengan orang miskin yang kesulitan mendapatkan akses layanan kesehatan yang seharusnya mereka terima saat sakit.
Penjelasan dari buku tersebut mengingatkan saya terhadap kondisi yang sedang kita alami saat ini, ditengah pandemi Covid-19.
Setiap hari kita disuguhi berita perkembangan kasus covid-19 yang jumlahnya terus bertambah. Jumlah temuan kasus positif, orang yang sembuh, dan orang yang meninggal. Semua informasi statistik itu meluncur memenuhi media sosial serta saluran televisi yang sering dijumpai ketika sedang duduk bersantai bersama keluarga.
Karena itu, Presiden Joko Widodo dalam sambutannya pada pembukaan Munas Kadin ke-VIII di Kendari menyampaikan bahwa "perlunya penerapan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang mau tidak mau harus dilakukan" Dilansir dari Kompas.com pada 30 Juni 2021.
Dengan kebijakan ini, tentunya pemerintah berharap terjadinya grafik penurunan kasus Covid-19 yang signifikan. Namun selama penerapan PPKM Darurat kasus positif Covid-19 belum juga mengalami penurunan. Bahkan, terjadi beberapa kali rekor baru dan lonjakan tertinggi pada 13 Juli 2021 dengan 47.899 kasus.
Artinya kebijakan ini belum berhasil menuai harapan yang diinginkan, dilain sisi dengan pemberlakuan kebijakan ini banyak masyarakat kecil yang mengeluh akibat diberhentikan kegiatan perekonomian yang tidak dibarengi dengan jaminan hidup dari pemerintah sehingga beberapa orang menempuh cara dengan turun langsung ke jalan menjajakan barang maupun jasa mereka sebagai siasat untuk bertahan hidup.
Tidakkah pemerintah merasa iba? Bahkan ditengah krisis ekonomi yang sedang dialami oleh masyarakat, dalam sebuah video yang diunggah oleh Party Watch Channel menampilkan salah satu anggota dewan yang justru hanya memikirkan kelompoknya saja dengan meminta kepada pemerintah untuk menyediakan fasilitas kesehatan khusus pejabat Negara. "Pejabat Negara harus diistimewakan karena ia ditempatkan untuk memikirkan Negara dan rakyatnya" ujarnya.
Sepertinya gejala anosmia atau hilangnya rasa empati pemerintah terhadap rakyatnya telah menjadi-jadi dan hal ini tentunya akan sangat berdampak pada trust dan partisipasi publik yang akan bermuara pada kacaunya rencana pembangunan.
Belum lagi pemberitaan mengenai vaksin berbayar oleh pemerintah yang berujung pada kritikan yang dilontarkan oleh Kepala Unit Program Imunisasi WHO, Dr. Ann Lindstrand yang mengatakan bahwa "semua orang harus punya hak dan akses vaksinasi tanpa terikat kondisi ekonomi". Jadi, benar saja jika ada kalimat yang menyatakan bahwa kesehatan telah dijadikan sebagai sebuah komoditi oleh pemegang kebijakan di negeri kita ini.
Beberapa kebijakan pemerintah lainnya yang berujung pada penyengsaraan rakyat, diantaranya ialah dihapusnya ketentuan untuk mempertahankan minimal 30% hutan dikawasan tertentu pada UU Omnibus Law yang baru-baru disahkan meskipun menuai banyak penolakan dari baerbagai pihak. Tanpa aturan minimal luasan hutan yang harus dipertahankan, UU ini akan meningkatkan deforestasi atau hilangnya hutan.
Hal ini tentunya akan mengurangi penyediaan oksigen (O2) yang dihasilkan oleh pepohonan sehingga produksi polutan oleh asap kendaraan dan asap pabrik akan semakin sulit untuk diimbangi sehingga tidak perlu heran jikalau pada beberapa rumah sakit ataupun layanan kesehatan lainnya penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) menjadi penyakit yang sering dikeluhkan oleh masyarakat ketika dating berobat.