Mohon tunggu...
Ilham Wancoko
Ilham Wancoko Mohon Tunggu... -

semoga bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hilangnya Riang Gincu Kecil

26 Desember 2015   07:18 Diperbarui: 26 Desember 2015   07:25 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Anak ingusan keringatnya bercucuran. Di tengah kelas, dadanya berdebar-debar. Sesekali dia tengok gurunya yang berkoar-koar. Setelah aman, kembali menunduk. Tangannya kanannya di balik meja. Hape di tangan.   Kian lama, matanya makin melotot. Layar hape kian‎ asik bergoyang-goyang. Anak ingusan riang penasaran. Sekejap guru melihat kejanggalan. Anak ingusan dipanggilnya. "Nak," ujarnya.  Sontak, anak ingusan ‎beralih perhatian. Dia gelagapan, guru memandanginya. Tapi, tangan anak ingusan lihai menaruh hape di laci. Seakan tak ada sesuatu. Dalam sekejap muka anak ingusan tampak tenang. "Iya bu guru," tuturnya santai.  "Perhatikan pelajaran," ujar ibu guru yang rambutnya memutih sebagian. Sesaat kelas mulai normal. Anak ingusan tersenyum tipis. Teman sebangkunya mencubit kecil di paha yang dibalut celana biru. Anak ingusan dan teman sebangku saling memandang. ‎Mereka menahan tawa.‎‎Teman sebangku bilang"Nonton kok tengah siang bolong" disambut tawa cekikikan anak ingusan dengan tangan menahan mulut. Kelas berlalu. Anak ingusan sudah tidak tahan. Pesan singkat dikirimnya. Belum juga dibalas, akhirnya BBM diluncurkan. ‎"Pulang sekolah, keluar yuk". Sesaat balasan diterima"4yuk, kem4n4?". Anak ingusan membalas dan janjian ke tempat biasanya. Jarum jam menunjuk pukul 14.00. Semua siswa berduyun-duyun pulang. Anak ingusan menuju ke gerbang sekolah. Di sana sudah ada yang menunggu. Si kecil yang bergincu. Anak ingusan dan kecil bergincu bergandeng tangan. Keduanya jalan kaki menuju perempatan. Naik bus kopaja yang ugal-ugalan. Berganti bus, menuju ke pantai. Begitu sampai, keduanya berjalan kaki hingga ke ujung pantai.  Matahari masih menyengat. Pantai masih sepi pengunjung. Hanya beberapa orang terlihat. Anak ingusan dan kecil bergincu menikmati angin sepoi-sepoi. Deru ombak dipandangi. Obrolan kecil disela-sela perpaduan. Keduanya bergandeng tangan. Tak puas bergandeng tangan, anak ingusan memegang pinggang kecil bergincu. Sembari sedikit meremas. Kecil bergincu tertawa geli. Anak ingusan memberi kode "Ayo ke rumah kosong,"‎. Kecil bergincung hanya mengangguk. Tak jauh dari pantai, rumah kecil berwarna putih kusam terlihat. Temboknya roboh sebagian. Daun pintunya hilang. Temboknya penuh corat-coretan. Anak ingusan dan kecil bergincu melihat-lihat. ‎Harap-harap cemas, semoga tiada orang.  Keadaan ternyata aman. Keduanya masuk ke rumah kosong. Mereka mencari pojokan. Anak ingusan meluncurkan rayuan. Kecil bergincu hanya diam. Lama kelamaan, keduanya berpelukan. ‎Lalu, keduanya ngos-ngosan.  Gincu si kecil belepotan. Anak ingusan lemas. Kecil bergincu tiba-tiba ketakutan. Wajahnya cemas memandang anak ingusan. "Kalau itu gimana," tanyanya. Anak ingusan diam, mukanya ikut berubah roman. ‎Anak ingusan hanya bilang, "tidak kok,". Keduanya lantas keluar rumah kosong. Mereka pulang. Anak ingusan mengantar kecil bergincu di depan rumah. Keduanya saling melambai.‎ Kecil bergincu diam-diam makin cemas. Di rumah tidak tenang. Tidur juga tak lelap, kepikiran. Hampir seminggu tak kunjung lupa. Perbuatan terbayang-bayang. Lantas perutnya kesakitan. Melilit tak karuan. Kecemasan berubah ketakutan. Khawatir ketakutannya berubah kenyataan.  Di sekolahan, kecil bergincu menceritakan pada anak ingusan. Perutnya sakit tak karuan. Sehari dua hari makin tak tertahankan. "Kamu harus tanggungjawab," ucapnya pada anak ingusan.  Sekelebat, anak ingusan kebingungan. Tak tau mau bagaimana. Ketakutan dan kesedihan bercampur aduk. Keringat dingin bermunculan. Tau-tau kemeja putihnya sudah basah keringatan. "Kita keluar setelah pulang sekolah. Nanti bicara," ujarnya singkat dan dalam sekelebat menghindar.  Pulang sekolah keduanya bertemu. Masih sama di depan gerbang sekolah. Keduanya berjalan kaki. Kali ini naik bus ke rumah kecil bergincu. Anak ingusan sudah tau rumahnya sepi. Keduanya hanya diam begitu sampai rumah. ‎‎Kecil bergincu dalam kebingungan mengaku hamil. Ketakutan anak ingusan makin menjadi. Bayangan dimarahi orang tua dan nikah dini bersautan. Kecil bergincu makin mendesak, akan bilang ke orang tua. Anak ingusan diam. Tangannya menutup wajah. ‎Kecil bergincu mendorong-dorong. Berharap ada jawaban. Kian lama, dorongan kian kuat, tangisan tak lagi terhadang. Suara tangisan kecil bergincu makin keras. Anak ingusan tenggelam dalam ketakutan dan kebingungan. ‎

Sekelebat, tangan anak ingusan membalas dorongan. Tangannya yang lebih kuat membuat kecil bergincu terjerembab. Pikiran anak ingusan sudah gelap. Tangannya mencekik leher kecil bergincu. Tangisan itu lirih-lirih hilang.

 Anak ingusan terperanjat. ‎Kecil bergincu tak lagi bisa bicara. Pikirannya kalut dimasuki setan. Otaknya mulai mencari cara,"Bagaimana tidak ketahuan". Dilihatnya halaman belakang. Tanah kosong yang luas. Anak ingusan menggali kubur. Tubuh ‎kecil bergincu diseret masuk ke lubang. Begitu tanah disemburkan, ternyata kecil bergincu bergerak-gerak. Keinginan membantu muncul. Tapi ketakutan lebih besar. Sejurus kemudian, diambilnya sebongkah kayu. Kepala kecil bergincu dipukul-pukul. Gerakan sirna. Tubuh kecil bergincu ditimbun tanah. (bersambung)‎

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun