Mohon tunggu...
ilham permadi
ilham permadi Mohon Tunggu... -

Belajar, Mengerti, Berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keahlian, Pengetahuan dan Bakat

5 Januari 2011   15:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:55 6494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kerap kali kita (minimal saya sendiri) terkaburkan mana yang disebut dengan keahlian, pengetahuan dan bakat. Seorang guru piano mungkin tidak akan disebut berbakat hanya karena dia lebih tua, atau permainannya tidak se-menarik murid didiknya. Seringkali kita juga menganggap keahlian adalah suatu hasil dari mapan-nya pengetahuan, sedangkan bakat adalah sebab dari prestasi yang diraih ketika usia belia.

Pertama kita buka kamus besar bahasa Indonesia (http://bahasa.cs.ui.ac.id), yang mengatakan bahwa “ahli” adalah orang yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu. Sehingga yang disebut dengan “ahli bahasa” adalah orang yang mahir di pengetahuan bahasa. Kemudian “tahu” adalah mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dsb), sedangkan “bakat” adalah dasar (kepandaian, sifat dan pembawaan) yang dibawa dari lahir. Secara umum pengertian yang tersurat di kamus besar bahasa Indonesia cukup mewakili pengertian kebanyakan orang (minimal saya sendiri). Bisa kita tafsirkan bahwa “keahlian” adalah kemahiran seseorang dalam suatu ilmu “pengetahuan”. Sedangkan “bakat” adalah bawaan lahir seseorang sehingga dapat mencapai prestasi tertentu dalam usia belia. Jika seorang anak 12 tahun mampu membawakan symphony Mozart, maka dia dikatakan berbakat main piano.

Apa yang disampaikan oleh Marcus Buckingham & Curt Coffman (1999) agak berbeda, mereka menyebutkan bahwa “keahlian” adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu terhadap sebuah peran. Jika seorang akuntan, maka Microsoft excel adalah keahlian. Jika seorang seorang pilot, maka mekanika manuver pesawat adalah keahlian. Kemudian “pengetahuan” dibagi menjadi dua, yaitu pengetahuan faktual dan yang dialami. “Pengetahuan faktual” adalah pengetahuan “keras” yang diketahui. Jika seorang instalatur listrik, maka buku peraturan umum instalasi listrik adalah pengetahuan faktual, sedangkan “pengetahuan yang dialami” bersifat sesuatu yang kasat mata dan baru disadari/diketahui setelah melakukannya. Jika seorang event organizer, maka setelah berpengalaman akan mengetahui bagaimana cara mempersiapkan pertunjukkan dengan lebih cepat dan efisien. Pengetahuan seperti ini agak sulit untuk diajarkan.

Namun kamus besar bahasa Indonesia maupun apa yang disampaikan oleh Marcus Buckingham & Curt Coffman (1999) memiliki definisi yang serupa mengenai “bakat”, yakni sesuatu pembawaan lahir yang membentuk pola pengulangan pikiran, perasaan dan perilaku. Bakat secara sederhana me-representasi-kan sifat unik yang dianugerahkan oleh Tuhan YME kepada manusia. Sifat unik ini sangat beragam, bahkan konon sepasang kembar identik sekalipun memiliki kesukaan / kecenderungan yang berbeda.

Mengapa kita ditakdirkan berbeda satu sama lain? Banyak sudut pandang yang dapat kita pilih dalam menjawab pertanyaan ini. Salah satu jawabannya adalah: keragaman diciptakan agar kita saling mengenal dan bekerja bersama – sadar atau tidak – untuk mengambil peran masing-masing dalam tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi ini. Profesi yang bermacam-macam, akan membutuhkan bakat yang tepat untuk berperan dengan maksimal. Seorang dokter yang hebat biasanya memiliki bakat untuk me-motivasi pasien-nya, disamping pengetahuan dan keahiannya sebagai seorang dokter. Lalu untuk menjadi dokter yang baik apakah harus mempunyai bakat me-motivasi? Tidak juga…karena siapapun dapat me-motivasi dengan caranya sendiri, namun seorang yang ber-bakat motivator secara naluriah akan merasa bahagia / enjoy jika dapat membuat orang lain bersemangat. Hal ini akan membuatnya melakukan lagi dan lagi, bahkan bisa saja tanpa mesti diberi imbalan. Pernahkah anda melihat acara radio/televisi Mario Teguh? Kira-kira energi apa yang membuat Pak Mario dapat melayani konsultasi orang-orang selama bertahun-tahun tanpa dibayar?

Marcus Buckingham & Curt Coffman (1999) mengelompokkan bakat menjadi 3 (tiga) jenis kategori bakat, yaitu: Bakat Berusaha, Bakat Berpikir dan Bakat Berhubungan. Bakat berusaha berkaitan dengan kesukaan seseorang dalam mencapai sesuatu dalam dirinya, seperti: dorongan untuk selalu menjadi yang terbaik, dorongan untuk terlihat paling mahir, dll. Mungkin anda pernah bertemu orang yang selalu menganggap sesuatu adalah kompetisi? kira-kira begitulah contoh sederhananya. Bakat berpikir berkaitan dengan kesukaan seseorang dalam menjelaskan/menguraikan sesuatu. Unsur “bagaimana” dalam suatu hal, sangat menarik bagi orang yang memiliki bakat berpikir. Sedangkan bakat berhubungan berkaitan dengan kesukaan seseorang dalam membina hubungan dengan orang lain. Ketiga kategori bakat ini hanyalah gambaran besar. Sebenarnya ketegori bakat tersebut dapat dipecahkan menjadi banyak bakat kecil. Seseorang akan memiliki berbagai macam jenis bakat, namun dengan kadar yang berbeda-beda. Maka jika kita bekerja pada fungsi kerja yang sesuai dengan bakat, maka kita akan sulit membedakan antara bekerja dengan bersenang-senang.

Namun peran penting bakat sering kali dilupakan. Pertumbuhan ekonomi di dunia ini tanpa sadar menuntut manusia untuk melupakan keragaman bakat manusia, untuk kemudian memenuhi kebutuhan industri. Sir Ken Robinson (2006) sangat khawatir dengan kondisi dimana pendidikan disetarakan dengan kemampuan akademis. Dan kemampuan akademis inilah yang kemudian dianggap sebagai penentu dapat atau tidaknya seseorang bekerja. Beliau mengatakan bahwa menurut UNESCO, dalam 30 tahun yang akan datang, akan ada lulusan universitas yang lebih banyak dari yang pernah diluluskan sejak awal sejarah pendidikan. Kemudian Sir Ken Robinson (2010) mengemukakan bahwa ke depan akan semakin banyak orang yang merasa tidak bisa apa-apa, tidak berguna, karena minimnya penggunaan bakat. Karena industri mempersyaratkan akademis, maka orang akan mengabaikan bakatnya dan berlomba-lomba menekuni “pengetahuan” di bidang yang laku di pasaran. Sehingga orang-orang akan cenderung ”enduring” daripada “enjoying”. Kondisi inilah yang kemudian membuat istilah “Thanks God it’s Friday” dan “I hate Monday” semakin populer. Pada kondisi ini, bekerja dan bersenang-senang menjadi antonim.

Pada forum TED Talks, di akhir pidatonya Sir Ken Robinson (2006) mengatakan bahwa harapan dalam menghadapi permasalahan sumber daya manusia ini adalah kita semestinya melihat kapasitas kreatif manusia sebagai kekayaan. Ikut membantu anak-anak kita dalam mencapai apa yang mereka inginkan, lalu mendidik mereka agar dapat menghadapi masa depannya. Dan tugas kita, adalah membantu anak-anak kita agar menghasilkan sesuatu dari kreatifitasnya di masa depan.

Tulisan ini sebenarnya hanya secarik kertas dari buku tebal mengenai sumber daya manusia. Tak lebih dari sepenggal adegan dari cerita besar mengenai bakat. Dunia akan terasa lebih indah jika mulai saat ini kita mulai memperhatikan bakat unik yang dimiliki setiap orang.

Reff:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun