Sekitar 6 tahun yang lalu tersebutlah seorang guru Bahasa Inggris tua (berusia sekitar 50 tahun) yang native speaker asal inggris alias tembak langsung, bukan peranakan. Ia seorang mantan pilot Royal Air Force yang meng-awaki pesawat-pesawat berbadan besar angkatan udara kerajaan inggris yang acapkali bepergian mengelilingi dunia. Sampai akhirnya ia pensiun dan mengikuti kursus singkat mengenai ekonomi, meng-khusus-kan diri pada hal-hal yang berkaitan dengan pasar saham. Setelah itu ia mengajar bahasa inggris di Indonesia, mengkhusus-kan diri mengajar bahasa inggris untuk istilah-istilah ekonomi. Dan terakhir mengajar bahasa inggris untuk anak sekolahan. Secara teknis dia hidup sendirian, karena istri-nya (orang asli Indonesia) dinikahi hanya untuk status saja dan tidak tinggal bersama-nya.
Sangat membingungkan memang, setidaknya bagi pola pikir orang Indonesia kebanyakan – setidaknya saya sendiri, bahwa seorang pilot angkatan udara kerajaan inggris berakhir menjadi seorang guru bahasa inggris, tidak mempercayai pernikahan dan hidup semata untuk mengerjakan apa yang dia senangi.
Dia beranggapan bahwa orang Indonesia kebanyakan terlalu terikat secara emosional kepada keluarga, sehingga memperkecil kemungkinan orang Indonesia dapat pergi menjelajahi dunia dan memperoleh kepuasan hidup. Sungguh dramatis, ia mengungkapkan itu pada kondisi-nya yang telah tua, sendirian dan rentan dihinggapi penyakit. Mungkin tak terlintas dalam pikirannya bahwa suatu saat dia membutuhkan orang dekat untuk merawatnya.
Prof. Martin Seligman (2004) mengungkapkan hasil penelitiannya mengenai kebahagiaan dalam forum TED Talks, bahwa hidup bahagia memiliki 3 jenis yaitu: Hidup Senang/Berkesan (Pleasant Life), Hidup Baik (Good Life) dan Hidup Bermakna (Meaningful Life). Hidup senang berkaitan dengan seberapa sering kita merasakan kenikmatan, makanan, minuman, petualangan, dll. Hidup baik berkaitan dengan besarnya kuasa manusia terhadap sesuatu, seberapa banyak keinginan yang menjadi kenyataan. Sedangkan hidup bermakna berkaitan dengan penggunaan kekuatan diri dan menggunakannya untuk pengabdian atas sesuatu yang lebih besar. Hasil penelitian beliau menyebutkan bahwa Meaningful Life berdampak paling kuat, karena paling bertahan lama dan berkorelasi langsung dengan kesehatan fisik.
Jika kita hubungkan hasil penelitian Prof. Seligman dengan dimensi ke-Tuhan-an yang kita anut, maka sudah jelas hubungan antara Meaningful Life dengan tugas kepemimpinan/ke-kalifah-an manusia di muka bumi dengan kebahagiaan yang sejati. Maka itu sangat penting bagi kita untuk memiliki kesadaran akan kekuatan diri dan menggunakannya untuk kebaikan bumi dan sekalian alam.
Lalu dimanakah posisi guru bahasa inggris tua di awal tadi? Walaupun kita perlu memeriksa motif dan pengertian-pengertian dalam hidupnya, namun agaknya beliau tidak mencari Meaningful Life.
Maka itu kita selayaknya bangga karena nilai-nilai tradisional kita sudah menuju ke arah Meaningful Life. Tanpa penelitian tentang kebahagiaan, nilai tradisional kita seperti Ojo Dumeh (jangan mentang-mentang), hidup sederhana, jangan serakah, banyak sedekah, bekerja untuk memberikan manfaat seluas-luasnya pada orang lain, banyak bersyukur atas apapun yang diberikan, sudah berada pada dimensi Meaningful Life dimana kita sebagai manusia pada dasarnya ber-ibadah kepada kekuatan yang lebih besar, yaitu Tuhan YME.
Tantangan akan bertambah berat ketika materialisme kian hari semakin menguat di segala sudut kehidupan kita. Namun dengan pandai bersyukur, dan bekerja sebagai ibadah maka kita semua sudah On-Track, Wallahu’ alam (hanya Tuhan yang tahu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H