Kehidupan modern membawa banyak tantangan, mulai dari tekanan pekerjaan, hubungan yang kompleks, hingga ekspektasi sosial yang tinggi. Di tengah semua itu, kita sering mendengar ajakan untuk selalu berpikir positif, seperti “Tetap semangat,” atau “Jangan lihat sisi buruknya.” Niatnya tentu baik, tetapi tidak selalu tepat. Fenomena ini dikenal dengan toxic positivity—dorongan untuk terus menampilkan kebahagiaan dan optimisme, bahkan ketika kondisi mental kita sedang tidak baik-baik saja.
Masalah terbesar dari toxic positivity adalah mengabaikan validitas emosi negatif. Setiap manusia memiliki spektrum emosi yang luas, mulai dari bahagia, sedih, marah, hingga kecewa. Menganggap bahwa hanya emosi positif yang layak dirasakan sama saja dengan menyangkal setengah dari pengalaman hidup manusia. Ketika kita terus ditekan untuk bahagia dan menyembunyikan perasaan negatif, kita sebenarnya sedang menumpuk beban emosional yang berpotensi meledak di kemudian hari.
Di balik senyuman palsu, sering kali tersembunyi kecemasan dan stres yang tidak terucapkan. Misalnya, seseorang yang baru saja kehilangan pekerjaan mungkin dipaksa untuk “tetap bersyukur” karena masih memiliki kesehatan. Padahal, rasa kecewa, takut, dan tidak berdaya yang mereka rasakan adalah respons alami terhadap kehilangan tersebut. Menekan perasaan ini dengan dalih berpikir positif justru dapat memperburuk kondisi mental mereka.
Selain itu, toxic positivity juga memperkuat stigma bahwa perasaan negatif adalah tanda kelemahan. Banyak orang yang akhirnya enggan berbicara tentang perasaan mereka karena takut dihakimi atau dianggap tidak cukup kuat. Ini menciptakan lingkungan di mana kesehatan mental tidak diprioritaskan, melainkan diabaikan. Akibatnya, banyak individu yang merasa terisolasi dan kesepian dalam menghadapi masalah mereka, karena tidak ada ruang untuk membicarakan perasaan yang sebenarnya.
Media sosial memperparah fenomena ini. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter dipenuhi dengan gambaran kehidupan yang tampak sempurna. Kita melihat orang lain mencapai kesuksesan, menikmati liburan mewah, atau memiliki hubungan yang harmonis. Hal ini menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan adalah standar yang harus dicapai setiap saat. Ketika kita tidak bisa mencapai hal yang sama, kita merasa gagal atau kurang berharga. Toxic positivity kemudian hadir sebagai respons otomatis: jika hidup tidak bahagia, maka solusinya adalah berpikir positif, bukan menghadapi realitas.
Namun, hidup bukanlah tentang selalu bahagia. Hidup adalah tentang bagaimana kita merangkul setiap emosi, baik positif maupun negatif, dan tumbuh dari pengalaman tersebut. Menangis ketika sedih, merasa marah ketika dikhianati, atau merasa cemas ketika menghadapi masa depan yang tidak pasti adalah hal yang wajar. Emosi-emosi ini memberi kita kesempatan untuk mengenal diri sendiri lebih dalam, menemukan kekuatan yang tersembunyi, dan mencari solusi yang lebih tepat untuk masalah yang dihadapi.
Mengatasi toxic positivity bukan berarti kita harus berhenti berpikir positif. Sebaliknya, kita perlu menyeimbangkan optimisme dengan realisme. Alih-alih memaksa diri atau orang lain untuk selalu bahagia, kita bisa mulai dengan menerima perasaan yang ada, apa pun bentuknya. Misalnya, ketika teman bercerita tentang masalahnya, alih-alih mengatakan “Kamu harus kuat,” cobalah mengatakan “Aku mendengar kamu, dan itu pasti sulit.” Dengan cara ini, kita memberikan ruang bagi mereka untuk merasa diterima dan didukung.
Dalam jangka panjang, kesehatan mental yang baik bukanlah tentang selalu merasa bahagia, tetapi tentang memiliki keterampilan untuk menghadapi emosi yang kompleks. Ini melibatkan kemampuan untuk mengenali perasaan, mengungkapkannya dengan cara yang sehat, dan mencari bantuan jika diperlukan. Terapi, meditasi, atau sekadar berbicara dengan teman dekat bisa menjadi langkah awal yang efektif.
Kita juga perlu mengedukasi diri sendiri dan orang lain tentang pentingnya menerima emosi negatif. Ini bukan tanda kelemahan, melainkan bagian alami dari kehidupan. Dengan mengurangi tekanan untuk selalu berpikir positif, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan empatik terhadap kesehatan mental.
Pada akhirnya, hidup adalah perjalanan yang penuh dengan liku-liku. Tidak apa-apa untuk merasa sedih, marah, atau kecewa. Semua emosi itu adalah bagian dari proses tumbuh dan belajar. Yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapi setiap momen tersebut dengan keberanian dan kejujuran, tanpa harus berpura-pura bahagia. Karena kesehatan mental yang sejati bukanlah tentang selalu tersenyum, tetapi tentang menerima diri kita apa adanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H