Mohon tunggu...
Nailatul Munal Musyarofah
Nailatul Munal Musyarofah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi STAI Al-Anwar Sarang Rembang

Mahasiswa Prodi ilmu Al-Quran dan Tafsir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Teori Lewis Acoser dalam Kasus Indra-Raymond

6 November 2024   12:36 Diperbarui: 6 November 2024   12:44 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warga bernama Raymond Kamil dan Indra Syahputra mengajukan gugatan terhadap sejumlah pasal undang-undang supaya Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan warga indonesia tidak menganut aama apapun. Apa alasan keduanya melakukan hal itu? Melalui kuasa hukumnya, pemohon menjelaskan alasan mereka mengajukan permohonan tersebut ketika sidang pendahuluan perkara nomor 146/PUU-XXII/2024 yang digelar di gedung MK pada Senin (21/10/2024).

Kuasa hukum pemohon yaitu Teguh Sugiharto, mengataka bahwa dengan adanya sejumlah aturan yang menuntut warga negara mengikuti agama tertentu telah merugikan hak konstitusional sang pemohon.

Penggugat menyampaikan beberapa asalan tentang gugatannya, diantaranya dia mengatakan bahwa adanya aturan beragama ini membuat aparat pemerintah memahami aturan tersebut sebatas kolom KTP saja. Menurutnya kebebasan ini seharusnya juga berlaku bagi rakyat yang tidak beragama.

Dia mengatakan bahwa sistem administrasi kependudukan juga hanya memberikan tujuh pilihan isian pada kolom agama di KTP dan kartu keluarga (KK). Dia juga mengatakan bahwa pengosongan kolom agama di KTP adalah bentuk diskriminasi.

Dia merasa kalau rakyat indonesia  yang tidak beragama terpaksa berbohong supaya mendapatkan layanan dari sistem administrasi. Hal seperti ini membuat data adminduk tidak akurat karena banyak orang yang berbohong menganut suatu agama demi mendapatka KTP.

Pemohon juga merasa bahwa dia kehilangan hak untuk melaksanakan perkawinan secara sah karena tidak memeluk agama. Karena menurutnya, di dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 di jelaskan bahwa perkawinan itu mengatur pernikahan bagi penganut agama.  

Pemohon juga mengatakan bahwa dia merasa dirugikan karena orang yang tidak beragama harus mengikuti pendidikkan keagamaan baik di sekolahan ataupun perkuliahan. Dia juga mengungkit pasal 301 ayat 1 UU 1 Tahun 2023 atau KUHP yang mengatur pidana bagi orang yang menghasut seseorang untuk tidak beragama atau tidak menganut agama yang ada di indonesia.

Pemohon juga mengajukan sejumlah petitum terhadap MK. Dan ketika petitum tersebut di bacakan dalam sidang pendahuluan perkara nomor 146/PUU-XXII/2024, para hakim MK pun bergantian memberikan nasihat kepadanya.

Meninjau dari permasalahan tersebut, kita bisa menggunakan teori kebebasan menurut Lewis Acoser. Sebelum itu, kita harus tahu terlebih dahulu apa sih kebebasan itu?

Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebasan dalam beragama. Seperti yang dikatakan di dalam teks KH.Agus Salim, bahwa sekalipun negara kita sebagian besar beragama islam, tetapi negara kita tidak menetapkan agama islam sebagai agama negara yang diwajibkan bagi seluruh rakyat, kita juga harus mengakui bahwa adanya agama atau kepercayaan lain di negara kita, karena adanya berbagai agama di dunia ini memang kehendak Alloh.

Negara memang menetapkan kebebasan beragama bagi setiap individu, tapi kebebasan beragama juga harus sesuai denan syarat-syarat yang sudah ditetapkan. Syarat-syarat tersebut diantaranya: tidak melanggar hak, tidak melanggar konsesus kesopanan, dan tidak melanggar ketertiban umum.

Menurut teori Lewis Acoser bahwa konflik itu bermula dari dua hal yaitu by design(motif) dan by naturl( rasionalitas dan solidaritas). Seperti yang disampaikan oleh hakim MK Arief Hidayat dalam sidang pendahuluan perkara nomor 146/PUU-XXII/2024 yang digelar di gedung MK pada Senin (21/10/2024), Bahwa permasalahan di atas bukan konflik tentang ekonomi tapi konflik tentang kerugian hak konstitusional.

Permasalahan yang di ungkapkan pemohon belum memberikan alasan yang kuat untuk mengajukan gugatan diperbolehkannya tidak beragama. Kebebasan beragama itu bersifat objektif, tapi dengan motif subjektif. Maka penggugat harus memberikan alasan yang subjektif bukan hanya permasalahan secara objektif.

Negara kita adalah negara demokrasi dimana hukum di atur oleh undang-undang berdasarkan pancasila. Seperti dalam sila pertama yang berbunyi 'ketuhanan yang maha Esa'. Negara kita tidak menetapkan islam sebagai agama resmi, tapi negara kita juga memberi kebebasan untuk menganut agama apapun. Dan hal itu juga merupakan syarat sesorang diakui sebagai warga negara indonesia.

Maka ketika sesorang yang tidak beragama berada di negara indonesia maka dia tidak mendapatkan pelayanan apapun bahkan pernikahannya pun tidak di anggap sah dan dia harus mengikuti pendidikan keagamaan yang ada di sekolah atau kuliah. Sila pertama ini sangatlah penting karena sila pertama merupakan dasar dari sila-sila yang lainnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun