Siswa sekolah saat ini dihadapkan dengan tuntutan aktivitas yang padat. Adik saya salah satunya, dipagi hari berangkat sekolah pukul 06.30 WIB hingga 14.30 WIB. Selepas itu pulang ke rumah. Namun, kepulangannya hanya untuk menaruh tas dan berganti pakaian. Setelahnya ia kembali berangkat ke sekolah untuk melakukan kegiatan ekstrakulikuler.
Aktivitasnya yang padat berawal ketika tahun lalu ia mulai masuk Sekolah Menengah Pertama. Jadwal sekolahnya makin padat dan kegiatan ekstrakulikulernya terdiri dari banyak organisasi. Ia tergabung dalam paduan suara, pasukan khusus pramuka, dan setiap sore harus turut dalam latihan taekwondo.
Dari keseluruhan kegiatannya, dapat dikatakan taekwondo yang paling banyak ia lakukan. Setiap hari, termasuk akhir pekan, ia harus terus berlatih. Semangatnya untuk lulus dan tergabung sebagai tim turnamen taekwondo antar sekolah se-provinsi menjadi motivasi terbesarnya. Kegiatan fisik yang menguras tenaga itu dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan dan performanya di sekolah jika tidak diimbangi dengan asupan nutrisi yang seimbang.
Adik saya tergolong sulit makan teratur. Selain itu, ia juga memiliki beberapa alergi makanan. Makanan tersebut seperti ikan laut, susu hewani dan produk turunan susu lainnya. Ia didiagnosa mengalami intoleransi laktosa. Di lain sisi, produk susu hewani merupakan bahan pangan dengan kandungan nutrisi yang tinggi, termasuk laktosa.
Masalah yang ia hadapi setiap mengonsumsi produk susu adalah perut yang kembung dan terasa begah. Terkadang jika mengonsumsi dalam jumlah banyak menimbulkan efek diare. Hal ini disebabkan karena enzim laktase dalam usus halusnya mengalami penurunan jumlah produksi sehingga laktosa sebagai jenis gula kompleks tidak dapat tercerna oleh tubuh. Zat gizi laktosa yang terdapat dalam usus halus akhirnya tidak dapat terpecah menjadi bentuk gula yang sederhana sehingga tidak bisa diserap oleh tubuh. Laktosa tersebut akhirnya terbuang ke usus besar dan terfermentasi oleh mikroflora usus sehingga dapat menyebabkan terbentuknya gas dan perut menjadi kembung dan diare.
Susu dengan komponen protein dan mineral seperti kalsium yang tinggi menjadi bumerang bagi penderita intoleransi terhadap laktosa. Seperti halnya ayah saya yang khawatir pertumbuhan adik saya akan mengalami gangguan jika tidak bisa mengonsumsi produk susu hewani. Setelah berkonsultasi dengan dokter dan ahli gizi, kami disarankan untuk memberikan alternatif produk lain yang dapat memberi suplai kebutuhan gizi yang sama dengan susu hewani.
Sejak saat itu, alternatif produk turunan susu hewani yang dapat ia konsumsi mulai kami kenalkan. Ibu setiap hari memasak beraneka ragam sayuran, menyediakan buah-buahan, dan mengganti susu hewani dengan susu nabati. Salah satunya seperti susu kedelai. Kendati demikian, tindakan seperti itu tidak cukup. Di luar rumah, sangat sulit untuk melakukan kontrol terhadap jajanan yang ia konsumsi. Kerap kali ia mengalami diare jika tanpa sepengetahuannya atau secara nekat tetap mengonsumsi produk yang mengandung laktosa.
Adik saya sebetulnya masih dapat mengonsumsi makanan yang mengandung susu, namun harus dengan kadar laktosa yang rendah, salah satunya adalah produk fermentasi seperti yoghurt dan keju, kandungan laktosanya telah terpecah menjadi gula sederhana oleh mikroba saat proses fermentasi. Â Namun, bagi ukuran anak sekolah, produk tersebut tergolong mahal dan tidak praktis untuk di bawa sebagai bekal. Produk pangan instan yang merupakan jajanan kegemarannya seperti produk ekstrudat dan convectionary.
Soy Lebih dari Sekedar Makna Kedelai
Beberapa bulan lalu, saya mengajak adik saya untuk berbelanja keperluan rumah tangga di  swalayan. Selepas seluruh kebutuhan dalam daftar belanja dibeli, saya menawarkan kebutugan lain yang ingin ia beli.
" Aku pengen coklat deh Mbak. Soy itu kedelai kan artinya?" ia bertanya pada saya, ditangannya sudah tergenggam dua bungkus SOYJOY.