Kita bisa menyebutnya dengan nama Ma, perempuan yang meski baru satu tahun kukenal tetapi sudah banyak menorehkan cerita atau kisah di antara kami. Aku mengenalnya di tahun ketiga perkuliahan. Aku angkatan 2016 dan dia angkatan 2015. Kami adalah mahasiswa di prodi yang sama. Sebenarnya, aku sudah lama tahu soal dia, sejak "maba" malah. Dia kukenal sebagai orang yang menyukai sastra, namanya pernah tertulis sebagai perwakilan fakultas untuk ikut lomba menulis puisi antarfakultas. Soal dia apakah juga telah tahu aku sebelumnya, aku tidak punya ide.
Seorang yang bagiku sahabat dan juga bagi Ma, almarhumah Idah, diam-diam ternyata pernah menjadi semacam "mak comblang" untuk kami berdua. Dia pernah mengatakan padaku, "El, coba lu deketin si Ma, orangnya pintar dan baik." Begitu juga dia pernah bilang hal yang persis pada Ma, "Lu deketin El, Ma. Orangnya pintar dan baik."
Aku tidak pernah bicara soal Ma pada Idah. Itu murni ide Idah untuk menyuruhku berkenalan dengan Ma. Sampai Idah wafat, aku belum berkenalan dengan Ma dalam artian benar-benar kenal. Soal "mak comblang" ini baru aku dan Ma ketahui saat kami akhirnya berbicara panjang dan dalam untuk pertama kali. Idah, saat dia wafat, aku adalah salah seorang yang bersaksi dia adalah manusia yang tulus dan semoga Tuhan memberinya tempat yang sebaik-baiknya di sisi-Nya.
Nasib memutuskan kami --aku dan Ma-- untuk baru betul-betul kenal satu sama lain di bulan Mei tahun 2019. Pertama kali bercakap-cakap, kami langsung menghabiskan waktu sampai sekitar dua jam tiga puluh menit. Kami berbicara dari soal sastra, filsafat, sosiologi, identitas, agama, kecemasan, dan sampai tebak-tebakan lucu yang waktu itu leluconku sampai membuat matanya berair. Bahagia sekali saat itu ketika berhasil membuat seorang perempuan yang diam-diam mulai kucintai tertawa terbahak-bahak.
Tinggi badan Ma sepantaran aku dan wajahnya cantik (jangan paksa aku untuk mendeskripsikan soal cantik ini karena cantik adalah perspektif). Cara berjalannya seakan-akan sedang melakukan peragaan busana dan penontonnya cuma aku, bahwa ia diciptakan di muka bumi oleh Tuhan untuk aku seorang dan bukan untuk yang lain. Matanya yang indah-teduh menyorotkan segala apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Kubaca kegetiran di matanya yang terkadang sayu itu, disana juga ada kebingungan, dan tentu saja kecerdasan, tersirat jelas. Ya, dia adalah perempuan yang cerdas yang mengalami kebingungan dalam hidup dengan segala kegetiran yang menyertainya, sama sepertiku.
Aku tidak akan bilang aku cerdas sepertinya, tapi kami memiliki kegalauan yang sama: soal eksistensi. Itulah salah satu topik penting kami dalam pembicaraan pertama kala itu. Kukira, Tuhan hanya memilih orang-orang tertentu untuk ditimpakan kepadanya kebingungan soal keberadaan: mengapa kita ada dan dunia ini sebenarnya apa. Aku dan Ma adalah dua orang dari yang sedikit itu.
Ma adalah gambaran diriku. Meski tentu saja, tetap banyak hal yang berbeda. Suatu hari dalam perjalanan di kota Bogor menggunakan angkot, dia bilang padaku: bahwa segala apa yang ada pada diriku adalah negasi dari apa yang ada pada dirinya. Bahwa aku santri, dan dia agnostik. Bahwa aku salat, dan dia tidak. Bahwa dia bilang kalau pendekatanku kepada dirinya adalah misiku sebagai seorang santri untuk mengajaknya kembali pada Tuhan.
Aku tergelak, aku jujur tidak pernah memiliki niat itu. Kubilang padanya bahwa aku tidak memiliki tujuan itu. Akan tetapi, kataku, sebagai manusia adalah naluriah jika aku berbagi tentang Seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Bahwa aku bukanlah satu-satunya yang berhak mengenal Tuhan di muka bumi.
Sebagai seorang yang mengaku agnostik --meski dalam puisinya sering kutemukan Tuhan dan beberapa kali kutahu dia melakukan salat-- tentu agak aneh ketika menjalin hubungan yang intens dengan seorang santri. Tetapi, ya, hubungan kami cukup berhasil. Meski kukira Ma seringkali berusaha menjauh dariku, tetapi tetap saja kami selalu bertemu.
Dia seringkali mempersilahkanku salat ketika kami sedang hang out, dan dia menunggu di luar musala atau masjid. Kami memiliki banyak perbedaan, tapi ada satu hal yang mempertemukan kami dengan baik: kami adalah pencari. Aku, seorang santri, tetaplah seorang pencari. Dia, seorang agnostik yang kadang-kadang menjadi muslim, adalah seorang pencari. Meski aku bilang, aku punya naluri sebagai manusia, aku tidak akan dengan ekstrem mengajaknya untuk salat. Pendekatannya tidak akan seperti itu, karena aku pencari dan dia pencari.