Aku jadi ingat Diogenes dan aliran sinismenya. Baginya dan pengikut aliran filsafat sinisme, hidup ini hanya perlu dijalani apa adanya. Tak perlu punya banyak keinginan untuk hidup. Toh Diogenes pun yang hidup sebagai gelandangan di sebuah tong bekas bersama anjingnya masih bisa hidup sampai tua.
Satu peristiwa yang paling unik dan nyentrik dari kisahnya adalah pertemuan dengan Alexander Agung. Saat itu Sang Raja bertemu dengan Diogenes dan menawarkan semua hal yang dia inginkan akan dikabulkan. Tapi, apa yang diinginkan Diogenes? Begitu sederhana. Dia hanya ingin Sang Raja menyingkir karena menghalangi sinar matahari pagi.
Aku jadi ingat kata seseorang yang terkenal. Dia bilang, "Hidup akan sangat bahagia ketika bisa mendapat apa pun yang diinginkan. Namun, hidup akan lebih bahagia lagi jika tidak pernah menginginkan apa pun." Aku lantas berpikir. Memangnya bisa orang bahagia jika tak pernah punya keinginan? Lantas bagaimana hidupnya?
Perjalanan panjang membuatku menemukan satu kesimpulan yang bisa dikatakan hanya sebatas asumsi. Aku pikir benar bahwa tidak punya keinginan adalah kunci kebahagiaan. Aku tidak melihat pada hidup Diogenes yang kita tidak tahu apakah itu kisah nyata atau bukan. Tidak pula berkaca pada kehidupan Patrick Star yang jelas itu fiksi belaka. Aku berkaca pada hidupku yang masih secara sporadis begitu ambis, tetapi pada lain waktu begitu lesu.
Suatu waktu, aku merasa berada pada titik terendah hidupku hanya karena tak menjadi nomor satu. Iya, seorang yang selalu menjadi nomor satu tentu kaget ketika pengumuman juara kelas, ternyata dia hanya juara delapan. Jatuh sangat jauh. Seketika merasa jadi manusia paling goblok padahal yang peringkat terakhir pun gak merasa goblok.
Namun, semua itu tak lagi terjadi seiring waktu berjalan. Lama-lama, aku tak peduli mau kesatu, kedua, atau kesatu dari belakang pun. Yang penting bisa naik dan nilainya aman. Aku tak lagi punya keinginan untuk menjadi "yang paling", tak lagi ingin bisa masuk kedokteran, atau keinginan yang lainnya. Hidupku benar-benar hanya ingin berjalan semestinya dan tak punya banyak ambisi. Pada saat itulah ketika aku tak masuk sepuluh besar pun hidupku baik-baik saja. Padahal sebelumnya kedelapan saja begitu menderita.
Ada contoh lain. Waktu itu aku mendaftar ke dua PTN. PTN gajah di Bandung dan PTN yang sekarang menjadi tempatku menimba ilmu. Ternyata aku tidak lulus di PTN gajah. Aku lulus di sini. Dan, apakah aku bersedih, menyesal, atau kecewa? Sama sekali tidak. Ketika pengumuman, aku begitu bahagia. Kenapa? Karena bagiku bisa berkuliah di negeri saja sudah memuaskan. Keinginan sejatiku bukan PTN Gajah, Kuning, atau Patih Majapahit. Â Keinginanku hanya bisa berkuliah secara gratis di PTN. Ya, syukur kalau bisa PTN Gajah atau PTN Guru. Sudah itu saja.
Dari kejadian itu aku bisa sadar bahwa barangkali mereka yang begitu bersedih ketika diterima di PTN Guru dan tidak diterima di PTN Gajah, sejatinya keinginan mereka lebih cenderung ke PTN Gajah. Itu tidak salah. Kembali lagi, semua hanya soal prinsip pribadi. Hanya saja, keinginannya yang begitu besar telah membuatnya bersedih ketika mereka menjadi mahasiswa PTN Guru. Sedangkan aku yang bernasib sama dengan mereka masih bisa bahagia. Tentu saja, sebab aku tak begitu menginginkan yang mereka inginkan.
Itulah beberapa bukti bahwa tidak punya keinginan bisa membuat hidup "sedikit bahagia". Aku tidak bilang sepenuhnya bahagia. Karena terlalu cepat menyimpulkan keumuman dengan fakta yang sangat khusus dan sedikit. Aku tidak bilang kalian tidak boleh punya keinginan. Itu tidak aku bahas. Itu kembali kepada diri kalian sendiri. Tapi, nyatanya keinginan yang banyak membuat peluang lebih banyak keinginan yang tidak tercapai. Dan, keinginan yang tidak tercapai akan membuat hidup seseorang (sedikitnya) kurang bahagia.
Mungkin cuma itu yang bisa kubahas. Aku hanya iseng saja di kala lelah dengan tugas yang menumpuk bagai utang negara. Sekarang, mari kita kembali memikirkan hal yang tak perlu dipikirkan untuk membuat hidup tidak bahagia.
     Â