Kotak elektronik yang biasa disebut televisi itu mengeluarkan suara-suara yang menarik perhatian saya. Saya tertarik bukan karena terkesima dengan apa yang saya dengar. Kebalikannya, saya malah merasa terganggu. Rasa ‘tertarik’ itu membuat saya menolehkan kepala saya ke arah televisi. Di layarnya saya lihat lima remaja laki-laki dengan pakaian trendi sedang menari-nari di atas panggung rendah yang dikelilingi puluhan perempuan-perempuan muda. Pakaian yang mereka kenakan dan tarian yang mereka tampilkan mirip dengan boyband-boyband Korea. Para penggemar boyband Korea sejati mungkin bakal sinis kalau menonton televisi bareng saya pagi itu. ‘Tiru-tiru’, ‘Latah’, ‘Nggak kreatif’, dan ‘Nggak mutu’ adalah ungkapan-ungkapan yang sering muncul dari mulut teman-teman saya yang menggandrungi boyband Korea jika melihat atau membicarakan boyband-boyband Indonesia macam boyband yang sedang saya tonton ini. Kelimanya barangkali bisa dibilang tampan menurut standar industri hiburan Indonesia masa kini. ‘Ketampanan’ itulah yang mungkin menjadi salah satu sebab dari histerisnya para perempuan di pinggir panggung. Anehnya, meski sebenarnya boyband remaja itu sedang tampil di sebuah acara musik, mereka tidak bernyanyi. Kelimanya hanya memegang mikrofon dan menggerak-gerakkan bibir sesuai dengan suara yang keluar dari rekaman yang diputar: lipsing, bahasa populernya. Ah, bukannya makin tentram, setelah menolehkan kepala ke televisi saya malah merasa semakin terganggu. Saya pun beritikad mencari tahu sebab dari kegelisahan saya itu karena ini bukan kali pertama saya merasa tak nyaman saat menonton acara musik yang diputar hampir tiap pagi itu. Saya semakin gelisah ketika mendapati banyak orang menggemari acara itu. Di pagi hari, hampir setiap TV yang tidak sengaja saya tonton menayangkan acara musik itu. Karena kepopulerannya, acara musik tersebut bahkan mengklaim dirinya sebagai barometer musik Indonesia. Waw, pikir saya, inikah cerminan musik pop Indonesia hari ini? Saya tidak bisa menjelaskan panjang-lebar alasan ketak-nyamanan saya terhadap penampilan-penampilan musisi pop Indonesia itu dari segi musik, pencahayaan, kostum, atau tarian. Tapi, setelah saya menelesuri dengan sedikit teliti, saya rasa saya bisa menjelaskannya dari perspektif lirik. Miskin Tema Agar penjelajahan atas lirik-lirik lagu pop Indonesia itu bisa lebih mudah saya jalani, saya memutuskan untuk membuat penelitian kecil-kecilan. Sampel dari penelitian saya adalah lima lagu band/penyanyi yang menduduki peringkat atas pada tanggal 25 Juli 2012 di acara musik yang menjadi ‘barometer musik Indonesia’ tersebut. Hal yang pertama-tama saya analisa adalah tema-tema kelima lagu tersebut. Hasil analisanya tidak terlalu mengejutkan saya. Kelima lagu itu bertema sama: cinta. Dua lagu bicara soal putus cinta, dua lagu lainnya bicara soal jatuh cinta, dan satu lagu bicara soal selingkuh. Betapa miskinnya tema-tema lagu itu jika dibandingkan dengan lagu-lagu yang populer dua dekade sebelum sekarang. Kita ambil satu sampel album saja. Dalam album Iwan Fals, Mata Dewa, yang terhitung populer di tahun 1988/1989, ada empat tema besar yang diangkat: cinta, sosial, perang, dan kehidupan urban. Masakan lima lagu terpopuler di sebuah acara musik populer tahun ini tak ada yang mengangkat tema lain selain cinta? Barangkali ada yang bertanya, “Lantas kenapa kalau tema lirik lagunya miskin, hanya bicara tentang cinta?” W. S. Rendra pernah menulis, “Apakah artinya kesenian, jika terpisah dari derita lingkungan?” Kini, kita bisa tanyakan pada pelaku industri hiburan pop pertanyaan yang sama, “Apakah artinya seni, termasuk musik, lagu, dan lirik-liriknya, jika tidak menjadi refleksi dari realitas?” Jika tema yang dipilih oleh musisi-musisi pop hanya merepresentasikan satu saja dari sekian aspek realita (hanya menulis soal cinta), maka hanya akan ada satu saja realita yang dapat dilihat oleh masyarakat: percintaan. Padahal, ada hal-hal lain yang yang sebenarnya tak pernah lepas dari kehidupan kita sehari-hari: kemiskinan, perang, kerusakan alam, bencana, kehidupan masyarakat, tradisi-tradisi, dan masih banyak lagi. Tak heran jika masyarakat yang mengkonsumsi musik pop dengan lirik yang demikian sempitnya hanya menganggap bahwa percintaanlah satu-satunya masalah terbesar dalam hidupnya. Persoalan lain di luar percintaan seolah tak penting. Masyarakat, terlebih kaum muda yang belum banyak bersentuhan dengan kegetiran realita, hanya bicara cinta saja dimana-mana: di kampus, di situs jejaring sosial, di kantin, di kamar kosnya, dimana-mana. Majas-majas Usang Pernahkah Anda sadari bahwa kata ‘hati’ itu adalah majas? Saat mengungkapkan hal yang berhubungan dengan emosi, kita sering menggunakan kata ‘hati’. ‘Hati’ sebenarnya adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, ‘heart’, yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia juga bisa berarti berarti ‘jantung’. Filsuf-filsuf klasik menyebutkan bahwa jantung adalah pusat pemikiran dan emosi yang kadang mampu menolak fungsi otak. Oleh karena itulah, kata ‘jantung/heart’ dalam Bahasa Inggris yang dalam Bahasa Indonesia berubah menjadi ‘hati’, digunakan sebagai majas metafora untuk menjelaskan konsep ‘emosi dan pemikiran’. Jika Anda tidak menyadari bahwa kata ‘hati’ adalah majas, berarti ia sudah menjadi majas yang sudah terlampau sering digunakan sehingga Anda tidak merasakan efek yang spesifik saat mendengarnya. Dengan kata lain, ia sudah menjadi majas yang usang. Sayangnya, majas-majas usang yang demikian banyak saya temukan dalam lirik lagu pop yang sejak tadi saya jadikan sampel. Berikut adalah sebagian contoh dari majas-majas tersebut: ‘sakit hati’, ‘setelah ku tahu kau pergi, cintaku’, ‘lubuk hati’, ‘berat rasanya’, ‘bualan hati’, ‘putus’, ‘kau buatku terbang melayang’, ‘mataku tak dapat terlepas darimu’, ‘seperti bunga yang kamu tanamkan, memekar di hati’, dan ‘semua seperti mimpi’. Bisakah Anda tebak termasuk ke dalam majas jenis apakah majas-majas di atas? Silahkan membuka kembali catatan Bahasa Indonesia SMA Anda. Majas, jika terus menerus diperbaharui, akan menjadi bentuk paling aktual dari bahasa. Ia akan dapat membantu kita menjelaskan konsep-konsep lawas dengan sudut pandang baru. Ia dapat membantu kita melihat hal-hal lama dengan perspektif yang berbeda dari yang sudah-sudah. Ingatkah Anda dengan metafora cicak vs buaya yang pernah populer di kalangan masyarakat? Cicak digunakan untuk menjelaskan konsep KPK yang sebenarnya sudah kita kenal sejak dulu. Dengan menyebut KPK sebagai ‘cicak’ dan menyandingkannya dengan ‘buaya’, Susno Duaji merekatkan konsep baru pada konsep KPK yang lama, yaitu: lebih kecil kekuasannya dari pada kepolisian. Susno membuat masyarakat melihat KPK-kepolisian dalam bingkai perspektif yang baru. Tak hanya itu, majas pun berfungsi untuk menerangkan suatu konsep yang belum bisa dibahasakan. Kata ‘hati’ di atas adalah contohnya. Dengan munculnya majas ‘hati’, kompleksitas konsep ‘emosi dan pemikiran’ yang pada jamannya belum dapat dibahasakan dengan sederhana, akhirnya dapat dicarikan padanan. Seorang kawan yang adalah seorang linguis pernah mengatakan hal ini dalam suatu kelas, “Bahasa adalah wahana ungkap hati dan pikiran seseorang.” William Shakespeare memberi teladan pada peradaban Bahasa Inggris sehubungan dengan hal ini. Shakespeare menciptakan 3000 kata baru bagi Bahasa Inggris modern lewat karya-karyanya. Shakespeare besar karena ia mampu, tidak hanya menjelaskan konsep lama dengan cara baru, tapi juga menciptakan kata-kata baru untuk konsep yang belum bisa dibahasakan. Ia membantu masyarakatnya membahasakan kompleksitas realitas, karena itulah ia dikenang. Ternyata majas memiliki peran yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat. Karenanya, reproduksi dan konsumsi majas-majas usang hanya akan membawa masyarakat kita pada stagnasi. Perasaan, pemikiran, dan realitas yang kompleks perlu diberi majas-majas segar. Di luar sana barangkali masih banyak konsep-konsep lawas yang perlu dibahasakan ulang. Masih banyak konsep-konsep baru yang perlu diberi identitas. Maka, mulai kini, mari berburu majas-majas baru. Kritis terhadap majas-majas usang dalam lirik lagu pop adalah satu langkah awal yang bisa kita tempuh. oleh Sabina Thipani - Vokalis dan Gitaris Ilalang Zaman Tulisan ini pernah dibuat dalam Buletin Pers Mahasiswa Sanata Dharma, Skriptura, Edisi Agustus 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H