Dipasena, Potret Buram Pola Kemitraan
Fadilasari
Peneliti Independen Masalah Sosial dan HAM
Kekisruhan belum juga beranjak dari Bumi Dipasena. Tambak udang terbesar di Asia Tenggara yang memiliki potensi ekonomi luar biasa itu kembali “salah urus” dan terancam terbengkalai sepeninggal pemilik lamanya, Sjamsul Nursalim. Konflik berkepanjangan antara petambak plasma dan perusahaan inti ditengarai menjadi penyebabnya. Sejak akhir pekan lalu, PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), yang kini mengelola tambak udang tersebut, menghentikan operasional. Seluruh aliran listrik yang merupakan penggerak usaha budidaya udang dimatikan.
Sejak Mei 2007 lalu tambak udang Dipasena diambil alih Konsorsium Neptune dari Perusahaan Pengelola Aset (PPA) seharga Rp. 2,3 trilyun. Konsorsium hanya diwajibkan membayar tunai Rp.688 milyar dan dana sisanya dalam bentuk rekening penampungan (escrow account). Harga itu jauh di bawah taksiran Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebesar Rp. 23 trilyun untuk menutupi hutang Bank Dagang Negara Indonesia milik Syamsul Nursalim yang dibekukan karena tak mampu membayar hutang pada pemerintah.
Dana yang tersimpan dalam rekening penampungan sekitar Rp. 1,7 trilyun itu, dikuasakan pada Konsorsium Neptune untuk memperbaiki tambak udang yang rusak parah. CP Prima sebagai anggota konsorsium, melalui PT Aruna Wijaya Sakti, bertugas mengelola uang negara untuk memperbaiki ekonomi 7900 petambak plasma dan mendongkrak produksi udang nasional. Saat mengambil alih Dipasena, investor berjanji akan melakukan revitalisasi selama 12 bulan untuk 16 blok tambak di Dipasena.
Tapi jadwal revitalisasi tidak selesai sesuai jadwal.Setelah beberapa kali diadakan perundingan, jadwal revitalisasi diperpanjang hingga September 2011. Hingga kini baru lima blok yang selesai direvitalisasi. Sementara blok lainnya sambil menunggu jadwal revitalisasi, dilakukan semi revitalisasi dengan budidaya polikultur, yaitu menabur ikan dan udang yang dilakukan sejak 1 Maret 2010.
Hubungan pola kemitraan antara inti dan plasma, dalam praktek bisnis seharusnya saling menguntungkan dan saling bahu membahu. Kedua belah pihak merupakan investor atas sebuah bidang bisnis yang mereka jalani, dan terikat dalam perjanjian kerjasama yang telah disepakati. Selama ini ada pemahaman keliru yang memandang petambak adalah “pekerja” atau buruh. Sebenarnya mereka juga adalah “pengusaha” yang membawa investasi.
Saat ini sedikitnya ada 3000 petambak plasma telah menandatangani akad Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi dari tiga bank, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia dan Bank Niaga Syariah. Setiap petambak meminjam uang bank untuk menggulirkan bisnis budi daya udang vanamei sebesar Rp. 126 juta. Artinya ada dana milik petambak sekitar Rp. 3,78 triliun yang dikelola perusahaan inti sebagai avalis. Nilai investasi itu lebih besar dibanding uang yang digunakan konsorsium Neptune ketika mengambil aset Dipasena dari PPA yang hanya Rp. 2,3 trilyun.
Sementara itu pemadaman listrik, otomatis telah mematikan budidaya udang plasma.Padahal selama ini, petambak mendapatkan listrik tidak gratis. Mereka harus membayar Rp. 300 ribu per bulan ditambah Rp. 7 juta lagi untuk satu kali siklus budidaya, jika tambak sudah diisi udang. Penundaan pembayaran sisa hasil usaha danhutang bulanan plasma yang dilakukan oleh CP Prima telah berdampak luar biasa terhadap kehidupan petambak yang serta merta kehilangan pemasukan finansial. Dan yang lebih menyedihkan saat ini terjadi konflik horizontal antara ribuan petambak yang tergabung dalam Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) dan ratusan petambak yang disebut-sebut properusahaan.
Bila kita cermati, sebenarnya ada dua perputaran investasi di Bumi Dipasena yang jika dikelola dengan baik akan menjadi kekuatan ekonomi yang amat besar bagi Kabupaten Tulang Bawang dan Propinsi Lampung. Pertama adalah potensi investasi 7900 petambak yang bila diberdayakan mencapai lebih dari Rp. 9 trilyun. Kedua, tentunya adalah potensi yang dimiliki investor PT AWS yang sudah “bersedia” mengelola aset eks Dipasena.
Pemerintah harus segera turun tangan mengatasi kisruh di Dipasena dengan terlebih dahulu memahami konsep pola kemitraan secara benar. Beberapa waktu lalu Kementerian Kelautan dan Perikanan sebenarnya pernah membentuk tim khusus untuk menyelidiki konflik di Dipasena itu, tapi hingga kini tidak jelas apa hasil kerja mereka.
Tak kalah pentingnya, harus ada upaya untuk mengawasi dan menyelidiki aliran dana Rp 1,7 triliun yang sedianya dipakai untuk program revitalisasi. Langkah ini sangat mendesak, karena dana itu adalah uang negara, sehingga harus ada pertanggungjawaban yang transparan kepada masyarakat Indonesia, bukan hanya pada petambak.
Pembiaran terhadap persoalan di Dipasena akan berpotensi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Hak para petambak dan karyawan perusahaan untuk mendapatkan kehidupan yang layak terampas. Tidak hanya itu, hak asasi anak-anak yang terlindungi dalam kovenan hak anak juga dilanggar. Kondisi tambak yang gelap gulita pada malam hari diantaranya mengganggu hak anak atas pendidikan.
Kita tentunya sepakat investor harus diselamatkan. Penyelesaian konflik di Bumi Dipasena harus bertumpu pada itikad menyelamatkan investasi besar, sekaligus menyelamatkan ekonomi kerakyatan. Petambak dan perusahaan adalah sama-sama investor yang mendanai operasional tambak, sehingga keduanya harus seiiring sejalan dalam potret yang utuh. Tanpa keadilan cara pandang terhadap sistem pola kemitraan, Dipasena akan menjadi “Potret Buram Pola Kemitraan” yang selalu dirundung konflik tak berkesudahan.
Dimuat di Lampung Post, Kamis 12 Mei 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H