Mohon tunggu...
Ila Fadilasari
Ila Fadilasari Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis buku "Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung", "Dipasena, Kemitraan Konflik dan Perlawanan Petani Udang", " Dia Menanti di Surga".

jurnalis, tinggal di bandar lampung

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang

15 Juni 2012   07:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:57 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang.

Fadilasari. Sijado, Bandar Lampung, Maret 2012. xi + 284 hlm. ISBN: 9786021821602.

PADA era 1990-an Dipasena adalah sebuah nama besar. Kala itu, Dipasena adalah sebuah impian tentang kehidupan sejahtera. Tambak yang berada di Rawajitu Timur, Kabupaten Tulangbawang, Lampung, seluas 16.250 hektare. Sebelum konflik meletus, tak kurang dari 9.033 petambak plasma dan 11 ribu karyawan menggantungkan hidup dari Dipasena ini.

Pada 1997, citra Indonesia terangkat karena menjadi produsen udang terbesar kedua di dunia. Kontribusi nyata telah dilakukan PT Dipasena Citra Dermaja—milik pengusaha Sjamsul Nursalim—mengangkat nama Indonesia di mata pelaku bisnis internasional melalui panen perdana udang tahun 1990.

Mengutip data Bank Indonesia, Fadilasari, penulis buku ini, mencatat devisa negara yang disumbangkan Dipasena mencapai 3 juta dolar AS. Tahun 1991, Dipasena mampu membukukan sebesar 10 juta dolar AS. Lalu, 30 juta dolar AS pada 1992. Puncaknya pada 1995 hingga 1998 menghasilkan 167 juta dolar AS. Atas keberhasilannya dalam ekspor udang ini, Dipasena pernah meraih Eksport Primanyarta pada 1995, 1996, dan 1997 (hlm. 2).

Rawajitu, tempat Dipasena membangun bisnis tambak udang tahun 1989, telah menjadi magnet bagi banyak orang yang berharap dapat memperbaiki nasib. Maka ada kisah seorang Syukri J. Bintoro yang meninggalkan profesi gurunya untuk memburu impian di sebuah perusahaan dengan gaji besar, tetapi ternyata ia hanya menjadi petani udang. Abdu Syukur yang melamar bekerja sebenarnya sudah merasa ada keanehan sistem kerja di Dipasena, tetapi harapan mendapatkan penghasilan yang lebih baik mendorongnya meneruskan bekerja di perusahaan ini.

Betapa bahagianya Albert M. Limbong ketika dinyatakan diterima menjadi petambak di Bumi Dipasena sampai kemudian ia mulai merasakan adanya keanehan dan kemudian perusahaan ini mulai limbung. Demikian pula yang dialami Maryono dan Nafian Faiz; awal yang begitu menggoda, tetapi kenyataannya hanya kamuflase.

Pamor Dipasena mulai pudar. Sejak 2000, perusahaan ini mulai tak terdengar lagi. Tambak udang itu kolaps. Perusahaan sudah tak memproduksi dan mengekspor udang lagi.

Ribuan plasma yang masih tersisa, tulis Fadila, bertambak sendiri-sendiri dan menyatakan putus hubungan dengan inti. Di satu sisi pertambakan mandiri itu sangat menguntungkan para petambak, tetapi di sisi lain pertambakan menjadi rusak parah. Pada saat bersamaan, aset Dipasena diambil alih pemerintah untuk menutupi utang Sjamsul Nursalim.

Dalam buku setebal hampir 300 halaman ini, Fadilasari mampu menggambarkan secara dramatis tentang tumbuh-kembangnya, masa-masa kejayaan, bagaimana konflik mulai menggerogoti, hingga runtuhnya sebuah kerajaan bisnis udang bernama Dipasena. Dengan gaya feature yang kuat, lengkap dengan detail dan kedalaman—kebetulan Fadilasari memang jurnalis Metro TV, sebelumnya wartawan Tempo News Room—buku ini membaca sebuah kisah kehidupan.

Membaca empat belas bagian ditambah prolog dan epilog, serasa membaca novel atau malah drama yang disajikan dengan enak dan enjoy. Bagian pertama—seperti dikutip pada bagian awal resensi ini—menampilkan beberapa pengalaman sosok di yang menjadi korban kisah sukses dan tenggelamnya Dipasena. Bagian kedua hingga bagian ketujuh bercerita tentang Dipasena mulai dari berdiri, masa jaya hingga hancurnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun