Mohon tunggu...
Ila Fadilasari
Ila Fadilasari Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis buku "Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung", "Dipasena, Kemitraan Konflik dan Perlawanan Petani Udang", " Dia Menanti di Surga".

jurnalis, tinggal di bandar lampung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Damai dan Perang dalam Seuntai Janur (catatan saat meliput bentrok di Balinuraga)

10 Desember 2012   03:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:55 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mbak, coba pakai janur kuning. Supaya aman dan tidak menjadi sasaran amuk massa. Bisa minta ke kawan-kawan yang di depan,” seorang bapak menghampiriku yang tengah meliput persiapan massa yang hendak bentrok di Desa Balinuraga. Aku hanya tersenyum, tidak paham apa yang dimaksud. Si bapak menjelaskan, bahwa ribuan massa yang hendak mendatangi Desa Balinuraga, menggunakan identitas dengan memakai janur kuning. Janur bisa dikenakan di tangan sebagai gelang, di leher sebagai rantai, atau sebagai ikat kepala.

Aku sempat berpikir itu adalah ide yang bagus. Bagaimanapun, aku tentunya tidak ingin menjadi korban salah sasaran massa yang berjumlah ribuan itu. Atau bisa jadi, mereka tidak merasa nyaman dengan kehadiranku yang menyorongkan kamera handycamp saat aksi kekerasan berlangsung, meskipun dari jarak yang tak terlampau dekat. Seorang lelaki lalu menyerahkan janur kuning padaku. Seraya mengucap terima kasih, aku melipir pergi.

Tapi janur tak jadi kukenakan. Aku khawatir, dampak yang lain malah terjadi. Bisa jadi aku lolos dari amukan massa yang berasal dari satu pihak. Tapi kemungkinan aku malah jadi sasaran kemarahan massa dari pihak seberang, justru terbuka. Aku pasti disangka sebagai bagian dari kelompok lawan, yang datang untuk menghabisi mereka.Sebagai jurnalis, aku ingin tetap berposisi di tengah. Cukuplah dengan mengantongi ID card, aku maju mendekati medan pertempuran.

Kenapa ID card dikantongi?Semula, ID card sempat kukalungkan di leher, sebagai tanda, aku adalah jurnalis. Apalagi kehadiranku sebagai seorang perempuandi lokasi konflik, tentu banyak menarik perhatian. Sejumlah aparat bahkan sempat menyuruhku menyingkir.Saat keributan sudah hampir pecah, seorang pemuda desa yang mengendarai sepeda motor, seperti mengejarku. Dia minta agar ID cardku dilepas saja, supaya aman. Khawatir ada kawan-kawan yang tidak suka aksi itu diliput pers, begitu katanya. Alasan itu cukup masuk akal. Jadilah, siang itu... aku meliput peristiwa tersebut tanpa mengenakan ID card maupun janur kuning.

Tak terkatakan, sejumlah perasaan berkecamuk ketika meliput peristiwa itu.Di saat aku tertegun kengerian melihat korban yang bergelimpangan, kulihat orang-orang disekitarku tertawa. Mereka sepertinya puas. Aku terpaku, antara bingung, heran, dan sedih. Di depan sana, aku melihatrumah-rumah mengeluarkan asap dan api.

Semula, aku nyaris tak percaya akan terjadi perang sungguhan. Apalagi wajah ribuan orang itu tidak menyiratkan ketegangan. Ribuan massa—banyak yang menyebut massa mencapai 20 puluh ribu—datang secara bergelombang. Mereka berkumpul di sejumlah titik, dengan berbagai senjata tajam. Aku menyapa mereka dengan rileks, menggunakan bahasa setempat.Saat aku menyorongkan kamera handycam dan tampil on came di tengah ribuan massa itu, mereka tak ragu mengangkat dan menunjukkan semua senjata tajam yang akan dibawa ke medan pertempuran. Aku juga sempat mengambil foto mereka memakai kamera ponsel.

Sejumlah warga yang kutanyai, mengatakan, mereka tengah bersiap hendak masuk ke Desa Balinuraga. Warga tak terima, anak gadis mereka dilecehkan pemuda seberang desa. Ada lagi yang mengatakan, tak terima karena hari Minggu kemarin, tiga warga mereka tewas dibunuh saat hendak meminta pertanggungjawaban pengobatan dari keluarga si pemuda.Bahkan seorang diantaranya tewas dengan mengenaskan. Tidak ada gurat ketegangan di wajah mereka.

Banyak diantara mereka saling bersenda gurau dan mengobrol dengan sesama rekan. Pun ketika kutanya macam-macam, tidak ada hal yang ditutupi. “Jam dua kami mau masuk ke Balinuraga, lagi nunggu kawan-kawan yang lain,” kata seorang pria yang berusia sekitar 40-an tahun. ”Sekarang yang penting bagaimana bisa menembus barikade polisi di depan. Kalau bisa tembus, kita bisa nyerang mereka,” ujarnya sambil membuang puntung rokok yang habis dihisap.Obrolan terhenti, ketika ada rombongan warga dari daerah lain berdatangan dengan jumlah besar.

Pukul 13.00 siang, aku masuk ke rumah salah seorang penduduk, hendak numpang mengirim berita hasil liputan.Kerumunan massa yang ada di rumah itu tidak keberatan. Justru mereka membantu menarik kabel laptop, untuk dicolokkan di kabel listrik yang berada agak jauh di dalam rumah. Laptopku memang harus dialiri listrik setiap kali akan digunakan, karena beterenya sudah ngedrop. Belum lagi 10 menit aktivitas itu berlangsung, di jalan sudah terjadi keriuhan.

Ternyata ribuan warga itu sudah mendapat perintah untuk berjalan menuju desa tetangga. Sejumlah pemuda kudengar sempat protes, karena waktu belum lagi menunjukkan pukul 14.00 siang. Tapi karena ribuan warga sudah merangsek maju, mau tak mau warga yang masih berkerumun di rumah-rumah, semua turun ke jalan.

Aku pun tak mau mengambil resiko. Cepat kubereskan peralatan liputan, dan buru-buru pergi dari tempat itu. Aku khawatir, bila peperangan terjadi, karena keasyikan mengirim berita, aku malah jadi korban salah sasaran. Duh, enggak deh.Bersama massa, aku jalan beriringan. Sampai disitu, aku masih belum percaya, bahwa ini akan terjadi perang sungguhan. Apalagi kudapat kabar, aparat yang berjaga di depan sana ada sekitar 2000 orang, dalam posisi menyebar.

Sampai kemudian di depan sana kudengar suara letusan, yang disusul tebaran asap membubung ke angkasa. Korban berjatuhan. Rumah-rumah terbakar. Sebagian warga lari ke hutan-hutan untuk menyelamatkan diri.Puluhan ribu massa kemudian keluar dari lokasi keributan dengan jalan beriringan, seperti berangkat tadi. Ada yang mengendarai sepeda motor. Gayanya seperti orang yang habis perang. Foto-foto tentang kekerasan yang baru saja terjadipun menyebar luas, baik melalui kamera ponsel, blackberry massager, maupun sosial media.

Bukan Perang Antarsuku

Beberapa hari setelah kerusuhan, aku sempat mengobrol dengan sejumlahtokoh desa. Mereka menceritakan, sebenarnya konflik antardesa disana sudah berlangsung lama. Bukan semata soal anak gadis yang terlecehkan, atau soal tiga warga yang tewas dalam bentrok kemarin. Bukan pula soal kesenjangan ekonomi, atau kecemburuan sosial, seperti banyak diekspos media massa. Tapi soal hubungan yang tak harmonis sejak bertahun-tahun sebelumnya.

Warga Desa Agom tidak suka, penduduk desa tetangga sering bersikap kurang toleransi.Pemuda desa sana pun kerap bertingkah bar-bar, dalam pergaulan sehari-hari. Sikap desa tetangga yang selalu ingin menang sendiri itu, tidak hanya dikeluhkan oleh warga Agom, tapi juga warga desa lainnya. Bukan hanya yang bersuku Lampung, tapi juga suku Jawa, Padang, Banten, dan sebagainya.

Perang antarwarga pada 27-29 Oktober lalupun, sebenarnya tidak terlalu tepat bila disebut perang suku. Karena perang suku, identik dengan perang antara dua suku yang berbeda. Tapi nyatanya, warga yang datang ke Balinuraga, berasal dari berbagai etnis yang bersatu. Seorang tokoh warga bersuku Jawa pun menegaskan, tak hanya orang Lampung yang berkepentingan atas Balinuraga tersebut.

Cerita soal kekerasan, bahkan sudah ada sejak 20 tahun silam. Pada tahun 1982, misalnya, akibat perselisihan warga Desa Sandaran dan Desa Balinuraga, warga Balinuraga membakar dua rumah warga Desa Sandaran. Tahun 2005 masyarakat Bali Agung di Kecamatan Ketapang membakar beberapa rumah penduduk di Desa Palas Pasmah.

Pada 29 November 2011 masyarakat Balinuraga menyerang Desa Marga Catur yang mengakibatkan 10 rumah dibakar dan 27 rumah lainnya dirusak. Peristiwa itu dipicu penusukan terhadap seorang siswa SMP, saat ada acara organ tunggal di Desa marga Catur.

Lalu pada 24 Januari 2012, masyarakat Desa Napal yang beretnis Bali bersengketa dengan warga Desa Kota Dalam yang beretnis Lampung. Peristiwa itu dipicu oleh keributan antar pemuda desa soal lahan parkir. Mereka yang tidak terima lalu merusak dan membakar sejumlah rumah warga Kota Dalam. Aksi itu juga melukai sejumlah warga.Aksi kekerasan itu dibalas denganturunnya ribuan orang dari Kota Dalam dan sekitarnya, yang membakar dan merusak sekitar 89 rumah penduduk Napal.

Namun, tentu tak semua cerita antara Agom dan Balinuraga melulu soal konflik. Kepala Desa Agom, Muchsin Syukur, menuturkan, warga dua desa sebenarnya saling membutuhkan. Warga Desa Agom, yang banyak memiliki pohon kelapa, kerap menjual janur pada warga Desa Balinuraga. Janur bagi warga Bali memang digunakan sebagai salah satu alat untuk peribadatan. Tanpa masyarakat Bali, janur di Desa Agom, tidak bernilai ekonomis. Paling hanya digunakan untuk membuat ketupat di hari raya, atau hiasan saat ada keluarga hendak menikah.

Ketika pak kades bercerita soal janur kuning itu, aku pun teringat pada kejadian saat bentrok 29 Oktober lalu, saat beberapa orang warga menyarankan aku mengenakan janur kuning. Oh, kenapa janur kuning yang selama ini sebagai “simbol pemersatu’ warga kedua desa justru dijadikan simbul pertempuran...?

Ketika bentrok di Dusun Napal, warga etnis Bali yang menyerbu Desa Kota Dalam pun menggunakan simbol yang sama, yaitu janur kuning. Warga etnis Lampung saat itu memilih mengenakan ikat kepala putih. Lalu, saat konflik di Desa Marga Catur. Ketika puluhan orang menyerbu desa itu, warga Marga Catur memasang janur kuning di depan rumah masing-masing, agar tidak menjadi korban amukan warga tetangga. Entah kebetulan atau tidak, beberapa rumah yang dipasang janur kuning memang luput dari pengrusakan, meskipun sempat dilalui massa yang marah.

Setahuku, janur kuning selama ini banyak digunakan sebagai tanda akan ada pesta pernikahan. Berarti, ada rasa sukur dan sukacita di balik makna dipasangnya janur kuning. Ornamen janur kuning dalam pernikahan ini berawal kebiasaan masyarakat Jawa, sebagai lambang pernikahan tersebut adalah upaya untuk mencapai rahmat Tuhan. Bila melintasi sebuah gang, dan disitu di pasang janur kuning melengkung, berarti warga yang tinggal di gang tersebut ada yang tengah menggelar pesta pernikahan.

Tapi ada juga “film janur kuning”. Sebuah film yang kerap diputar saat Soeharto menjadi presiden. Film itu menggambarkan perang pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Janur kuning dipakai sebagai lambang yang dikenakan para pejuang di lengan sebagai tanda totalitas untuk mengusir para penjajah. Nah, mungkin yang dimaksud warga mengenakan simbol janur kuning saat bentrok antarkampung kemarin, adalah untuk menghidupkan semangat, seperti di film janur kuning tersebut.

Siapapun kita, pasti sangat menyesalkan, mengapa masyarakat jadi bersumbu pendek. Kekerasan sudah seperti trend, atau bahkan menjadi gaya hidup dalam menyelesaikan masalah. Tren kekerasan atau biasa disebut konflik komunal memang bukan hanya terjadi di Lampung. Sebut saja perang antarwarga di Timika Papua, Bima, Sigi, hingga ke Bireun Aceh. Keributan terjadi di berbagai daerah. Tapi dari semua peristiwa itu, konflik di Lampung memang paling banyak mendapat sorotan. Bukan saja dari jumlah korban tewas yang begitu banyak, tapi tentetan kejadian yang begitu banyak.

Belum lagi bentrok di Lampung Selatan mereda, amuk massa kembali terjadi di Lampung Tengah, yang melibatkan warga Desa Buyut Udik dan Desa Kusumadadi, pada 8 November 2012. Meski tak ada korban jiwa, belasan rumah dibakar dan dirusak massa. Bentrokan di Lampung Selatan sendiri menewaskan 12 orang warga dari kedua belah pihak, serta membuat 400-an rumah warga terbakar serta dirusak.

Sebelumnya pada 12 September 2012, terjadi amuk massa pula di Jabung, Lampung Timur. Aksi itu dipicu oleh aksi main hakim warga desa yang mengeroyok pelaku pembegalan dari tetangga desa hingga tewas. Akbatnya lima warga terluka, dan belasan rumah dibakar. Pada Agustus 2012, saat bulan ramadhan, terjadi pula aksi bakar-bakar rumah di darah Natar, Lampung Selatan, dengan penyebab yang mirip dengan kejadian di Jabung.

Nama Lampung memang sudah sering disebut, sejak ada sekelompok warga datang ke DPR RI di Jakarta pada November 2011, yang melaporkan adanya pelanggaran HAM berat di Kabupaten Mesuji. Meskipun yang dimaksud dalam laporan sejumlah orang tersebut adalah daerah Mesuji di Sumatera Selatan, tak urung sejumlah kasus kekerasan diMesuji Lampung pun menjadi sorotan.

Seperti pembakaran aset perusahaan besar yang ada di sana, pembakaran kantor pemerintah kabupaten, dan terungkapnya kasus kekerasan aparat saat mengusir warga yang mendiami hutan lindung. Ditambah peristiwa perang warga di Balinuraga yang banyak menyita perhatian media massa, membuat nama “Lampung” sebagai daerah yang rawan konflik dan menyeramkan. Kondisi itu menyebabkan warga dari luar daerah menjadi takut untuk datang ke Lampung, karena streotif yang kadung negatif.

Konflik komunal yang sudah kerap terjadi di Lampung, ternyata tidak membuat aparat keamanan dan birokrasi jeli dalam melihat potensi konflik di masyarakat. Ketika terjadi dugaan pelecehan seksual terhadap dua gadis Desa Agom pada Sabtu sore 27 Oktober 2012, malam hari Kepala Desa Agom sudah datang ke rumah tokoh Desa Balinuraga dan kepala desa setempat. Kedatangan kepala desa itu untuk meminta pertanggungjawaban biaya pengobatan dari keluarga pelaku.

Peristiwa pada malam itu seharusnya sudah ditindaklanjuti aparat keamanan dan birokrasi di atas kepala desa. Apalagi, malam itu juga massa yang tidak terima datang ke Desa Balinuraga dan sempat terjadi keributan. Belum cukup, esok paginya massa datang lagi ke Balinuraga yang mengakibatkan dua orang tewas dari pihak penyerang. Siang harinya, massa lagi-lagi datang yang kembali berujung tewasnya seorang warga. Rupanya warga desa tetangga memang sudah mempersiapkan diri. Tewasnya tiga warga itulah yang membuat sekitar 20 ribu massa ingin melampiaskan kemarahan pada Senin, 29 Oktober 2012.

Ada banyak fase sebelum terjadi bentrok massal itu, bila aparat mau masuk ke dalamnya untuk mencegah konflik berkembang menjadi kekerasan apalagi potensi konflik sudah ada sejak lama. Ketika kerusuhan pecah, tak pelak, aparat pun beralasan, mereka kalah jumlah, tak sebanding dengan massa yang berdatangan. Aparat terpaksa menyingkir, daripada terjadi konflik antara aparat dengan masyarakat. Kalau soal jumlah yang selalu dijadikan alasan, sampai kapanpun aparat tidak akan mampu melerai aksi massa.

Maraknya Konflik Komunal

Konflik komunal, sudah kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, terutama sejak runtuhnya Orde Baru, yang sering disebut sebagai masa demokratisasi. Konflik dianggap sebagai konsekuensi masyarakat yang majemuk, sehingga menjadi fenomena yangomnipresent (hadir dimanapun). Sosiologi konflik meyakini bahwa masyarakat sesungguhnya disusun oleh relasi-relasi konflik. Konflik menjadi masalah yang destruktif mengguncang sinergitas sistem sosial ketika konflik berubah menjadi kekerasan.

Dalam berbagai peristiwa konflik, kerap tidak ada penyelesaian yang tuntas dari aparat penegak hukum. Aparat beralasan, bila pelaku ditangkap, akan memancing kerusuhan yang lebih besar. Namun hal itu mengakibatkan konflik komunal semakin leluasa terjadi, karena kekerasan yang dilakukan secara berkelompok, dianggap imun terhadap hukum. Pemerintah daerah dan penegak hukum sudah cukup puas, bila usai konflik, digelar perdamaian antara kedua belah pihak. Ikrar damai seolah menggantikan hukum dan menutup luka.

PropinsiLampung, sejak menjadi daerah tujuan kolonisasi (belakangan disebut transmigrasi) tahun 1905, konflik baru mencuat belakangan ini.Padahal Lampung yang berjuluk “Indonesia Mini” ini, terdapat banyak sekali suku (etnis) yang berdampingan. Penduduk beretnis Lampung sendiri bahkan bisa disebut “minoritas” dibanding suku pendatang. Ada penelitian yang menyebut, penduduk Lampung hanya 25 hingga 30 persen, dibanding warga pendatang.

Ketika pemerintah, baik pemerintah kolonial maupun pemerintah RI menetapkan Lampung sebagai daerah transmigrasi, tidak pernah ada penolakan dari masyarakat beretnis Lampung. Penduduk asli bahkan dengan sukacita memberikan tanah leluhur mereka pada pendatang. Mereka hidup berdampingan. Konflik atau ketidaksukaan pada beberapa pendatang tentu tak mustahil terjadi, namun tidak berkembang menjadi kekerasan.

Kebanyakan konflik komunal yang dipacu masalah kriminal. Sosiolog Novri Susan dalam bukunya Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer (2009), menawarkan tiga dimensi “fungsional dinamis” dari lembaga tata kelola konflik demokrasi. Salah satunya adalah mekanisme keamanan, yaitu upaya mengurung kekerasan terutama pada saat terjadi mobilisasi massa yang membawa tanda-tanda kekerasan. Aparat keamanan dalam hal ini petugas kepolisian menjadi penanggung jawab utama. Lembaga kepolisian harus memiliki kualitas dalam (1) memobilisasi aparat keamanan ke pusat-pusat mobilisasi massa, (2) menilai dinamika konflik dalam masyarakat sehingga penanganan dini bisa segera diciptakan untuk mencegah terjadinya eskalasi kekerasan, serta (3) melakukan persuasi terhadap massa yang telah menciptakan aksi kekerasan.

Masyarakat menjadi keras salah satunya karena hilangnya rasa percaya pada aparat keamanan. Mereka menganggap, bila menyerahkan suatu kasus kriminal pada aparat, prosesnya akan lambat ditindak lanjuti, dan belum tentu sesuai harapan. Dari pada berharap pada aparat yang belum tentu hasil kerjanya, lebih baik massa bertindak sendiri.

Kondisi ini makin diperparah lagi dengan sikap aparat birokrasi yang tidak dekat dengan rakyat. Mereka hanya berkutat pada urusan jabatan dan bagaimana cara meningkatkan jabatan. Mutasi birokrasi yang kerap dilakukan pemerintah daerah, misalnya, sering asal-asalan, tergantung kedekatan dan besarnya setoran. Sehingga birokrat yang muncul adalah pejabat yang doyan leyeh-leyeh dan mampu berdekat-dekat dengan aparat. Mereka merasa tidak begitu penting lagi urusan jabatan, apalagi pengabdian pada masyarakat. Kondisi ini membuat birokrasi semakin tidak peka terhadap keinginan masyarakat.

Konflik komunal sudah menjadi masalah yang serius di negara ini. Menyelesaikan konflik memang tidak mudah, apalagi bila sudah terjadi aksi kekerasan. Yang harus disadari pemerintah dan aparat keamanan, menyelesaikan konflik tidak bisa hanya dengan seremonial perdamaian. Perlu ada upaya pembauran untuk menyatukan kedua kelompok, sehingga mereka merasa satu kesatuan yang saling membutuhkan. Proses penyatuan itu akan memakan waktu yang tidak sebentar. Konflik tidak bisa ditutup dengan paksa tetapi harus dibicarakan dengan baik agar terselesaikan. Konflik bukanlah sesuatu yang berbahaya jika dapat ditangani dengan baik.

Diharapkan ke depan, janur kuning tidak lagi dijadikan simbol perlawanan dalam peperangan antarmasyarakat. Cukuplah janur kuning dipakai dalam hal hal yang berbentuk suka cita, yaitu pertanda ada pernikahan dan perlengkapan peribadatan. Karena tidak perlu lagi ada perang antar warga di negeri sendiri.

(Fadilasari/ IllaFahri. Jurnalis Metro TV di Lampung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun