Mohon tunggu...
nur illahiyah munggaran
nur illahiyah munggaran Mohon Tunggu... -

hanya suka bermimpi , bermain dengan imaji , bertengger di pelupuk harap , doa dan usaha :))

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Harus Bangun I

5 Oktober 2010   16:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:41 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Untuk kesekian kalinya aku berlaga, bertindak atau apapun itu yang sepertinya orang akan menilaiku gila. Berjalan diatas kaki yang lemah karena tak juga ada asupan tenaga, bicara seperlunya, tertawa seolah terpaksa hanya karena ingin menyembunyikan tangis dalam hati. Berlebihan memang, jika hanya karena aku yang dimainkan oleh sisi diriku sendiri yang malah menjatuhkanku dan menbuatku jauh tampak bodoh. Semua factor diluar diri aku yang selalu aku anggap salah, ditambah aku yang baru saja putus dalam keadaan tidak baik, semakin saja aku dimainkan oleh perasaan dan pikiranku sendiri. Merasa tak ada yang peduli, merasa sangan kehilangan, merasa semua orang tak melihatku, hilangnya rasa percaya, atau apapun itu yang membuatku makin jatuh ke dalam pikiranku sendiri.

Seharusnya aku sadar akan pentingnya kemenangan terhadap diri sendiri, kemenangan hati dan pikiran kita sendiri, bukan kemenangan hati saja atau kemenangan pikiran kita saja yang mampu mengendalikan semua yang ada dalam diri , sampai akhirnya merusak diri sendiri, hilang nafsu makan, dan menarik diri.

Huh ! aku heran ! bagaimana bisa aku seperti ini ditahun terakhir SMA-ku.

* * * *

Sepulang sekolah, seperti biasa aku tak langsung berjalan menuju rumah. Entah kemanapun aku pergi, aku serahkan kaki ini menuntunku. Langkahku semakin melemah dengan perut perih yang semakin meradang, bukan karena apa-apa, sudah kubilang aku kehilangan nafsu makanku, dan itu belum juga kembali.

” bu, aqua botol ini berapa ?” tanyaku pada seorang ibu penjual minuman di bawah rindangnya pohon asem dipinggir jalan seusai aku turun dari angkot (angkutan kota).

” masih sama, neng. Rp 3000 aja.” jawab ibu tersebut yang kira-kira berusia 42 tahun sambil menyusui anak dalam gendongan di tubuhnya. Meski begitu Ia sama sekali tak terlihat lelah disiang hari menuju sore ini, teriknya hari tak juga melemahkan tekadnya untuk terus bertahan seperti ini setiap hari demi menyambung hidupnya dan keluarganya.

Sambil ku lepas dahagaku, ku hela peluhku, aku duduk dikursi yang Ia sediakan disamping gerobak jualannya. Aku cermati sekelilingku, dibawah pohon ini, dan mataku tertuju sampai ke pojok jalan dan lampu merah dimana ku berhenti tadi, ada banyak kegiatan yang sebenarnya sudah lumrah ku lihat dan kudapati setiap hari. Penjaja koran di lampu merah, pengamen remaja atau anak kecil yang berebut ’dermawan’, pengemis yang tak gentar terus menggoda orang yang lewat dengan segala melasnya, orang-orang berbaju rapi dan bagus yang lalu lalang, yang kutau pasti target dan tujuan mereka berbeda dengan penjaja koran, pengamen dan pengemis itu.

” ini namanya kota metropolitan, de. ’seleksi alam’ itu bener terjadi disini. Sebisa mungkin kita menghalalkan segala cara untuk menyambung hidup. Mereka gak akan tau, mungkin sebenernya dia mencopet itu untuk hidup orang yang ia sayangi.” tiba-tiba Ibu penjual minuman menyadari kegetku ketika ku tak sengaja melihat seorang pencopet baru saja beraksi, di halte seberang jalan dari tempat ku duduk. Aku tak bisa melakukan apa-apa saat akhirnya sang korban berteriak copppeeeeeettt, dan beberapa diantara mereka yang berada didekatnya mengejar pencopet tersebut.

Aku hanya menoleh dan tersenyum pada sang Ibu penjual tanpa berkomentar apa-apa. Sungguh tubuhku lemas kepalaku sedikit berat. Aku hanya berdoa, sekalipun pencopet itu tak juga tertangkap, Tuhan memberi rezeki jauh lebih banyak pada sang korban dan balasan yang setimpal pada pencopet itu.

” makasih ya, bu.” aku bangun dari tempat duduk dibawah pohon rindang ini, melempar senyum, dan pergi dari tempat ini.

Kubiarkan terus kaki ini melangkah, kulirik jam tanganku, 15.45. baiklah, aku terus biarkan kaki ini membawaku, entah searah mata angin atau menantang arahnya, entah mengelu sinar matahari atau menantangnya. Dan dengan berjuta ayal di pikirku.

” maaayyy,, kagak bakal jadi duit tuh foto lu liatin mulu! Putus cinta aja lu pikirin! Mandiin si Yadi gih sonoh!” kudengar seorang ibu meneriaki anak gadisnya, saat langkahku masuk ke gang kecil yang orang ’berada’ itu menyebut gang menuju perumahan kaum marjinal, saat ku berjalan di ’teras’ rumahnya yang dijadikan jalan untuk melintas. Kudapati gadis itu duduk menekuk tubuhnya di lawang pintu triplek dengan kulitnya yang sedikit mengelupas, menatap kosong selembar kertas ditangannya. Foto mantan pacarnya, kupikir begitu.

”maaaaaaaayyyyyy” kudengar lagi sang ibu berteriak mamanggil anak gadisnya itu. Aku tak tahu pasti apa Ia tetap meringkuk, menekuk tubuh di lawang pintu atau menghampiri ibunya didalam yang mungkin sedang kerepotan. Yang jelas pikiranku kembali membumbung ayal yang tak putus.

Kakiku masih diatas ’teras’ perumahan ini, melintasinya diatas topangan tubuhku yang semakin berat, dan pikirku yang melayang-layang. Ku cermati semuanya satu-satu. Bapa-bapa penganggurang yang sibuk main gapleh dengan kopi hitam diujung tekukan lututnya, anak kecil yang berlarian dengan baju lusuh dan ingus yang mengering di pintu hidungnya, remaja yang duduk santai, genjreng-genjreng gitar katawa haha hihi menggoda setiap orang yang lewat, dan segala rutinitas yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ternyata ini, kotaku..

Kulirik lagi jam berwarna biru langit di pergelangan tangan kiriku, 20.35. ya, sudah sangat gelap. Sunggingan sabit di remangnya malam, tak lagi malu-malu untuk meminta sorot lembayung segera beristirahat agar esok, sorot keemasan lagi menyinari.

Tubuhku melemah, kelelahan sepertinya. Tapi aku tak sadar seberapa jauh aku berjalan, sampai kakiku kelelahan. Hatiku masih kacau, malah semakin kacau. Pikiranku semakin tak jelas, berputar-putar, memantul pada setiap dinding di kepalaku, mengadu apa yang baru aku lihat dan apa yang aku pikirkan sebelumnya. Baiklah saatnya aku pulang. Mungkin ayah dan ibu mencariku..

* * * *

**to be continue**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun