Mohon tunggu...
Iky ikyy
Iky ikyy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mengikuti perlombaan popda

Saya suka membaca buku buku komik dan memasak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Kaki di Tanah Nusantara

20 September 2024   07:52 Diperbarui: 20 September 2024   08:02 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah desa kecil di lereng gunung, hidup seorang gadis bernama Ayu. Sejak kecil, Ayu sudah mengenal dunia tari tradisional. Ibunya adalah seorang penari yang kerap tampil di acara-acara adat desa, sementara ayahnya adalah seorang pemusik gamelan. Ayu tumbuh di tengah gemuruh bunyi gong dan gemercik suara angklung yang mengiringi setiap gerakan tarian ibunya.

Ayu selalu terpesona melihat ibunya menari. Setiap gerak tubuh sang ibu seolah-olah bercerita, menyampaikan kisah-kisah leluhur yang sudah lama terlupakan. Ada keanggunan dalam setiap ayunan tangan, kekuatan dalam setiap langkah kaki. Tarian ibunya bukan sekadar hiburan, tapi sebuah ritual penghormatan kepada alam, kepada leluhur, dan kepada tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.

Suatu hari, ibunya jatuh sakit. Tarian di desa itu pun seolah kehilangan sinarnya. Tak ada lagi gerakan yang menghidupkan roh-roh tradisi, tak ada lagi tarian yang mempertemukan masa lalu dan masa kini. Orang-orang desa mulai melupakan tarian, dan Ayu merasakan kegetiran di hatinya.

Namun, dalam diam, Ayu memutuskan untuk melanjutkan jejak ibunya. Meski dia belum pernah belajar secara formal, tarian sudah tertanam di jiwanya. Setiap kali dia menutup mata, Ayu bisa merasakan gemuruh gamelan, bisa melihat bayangan ibunya yang meliuk-liuk dengan anggun di hadapannya.

Suatu malam, Ayu memutuskan untuk menari. Dengan langkah kaki yang gemetar, dia berdiri di halaman rumahnya. Di bawah cahaya rembulan, Ayu mulai menggerakkan tubuhnya perlahan, mengikuti irama gamelan yang ada dalam pikirannya. Awalnya, gerakannya kaku. Namun seiring berjalannya waktu, tubuhnya mulai mengalir dengan ritme yang tak terlihat.

Orang-orang desa yang kebetulan lewat terhenti. Mereka melihat Ayu menari dengan penuh kekhusyukan. Di tengah malam yang hening, tarian Ayu seolah membangunkan jiwa-jiwa yang tidur. Perlahan-lahan, satu per satu warga desa berkumpul untuk menyaksikan.

Ketika Ayu selesai menari, tak ada tepuk tangan yang terdengar. Hanya ada keheningan yang dalam, seolah desa itu kembali mengingat apa yang hampir mereka lupakan. Mata Ayu berkaca-kaca. Dia menari bukan untuk pujian, tapi untuk melanjutkan warisan yang hampir hilang.

Keesokan harinya, desa itu kembali hidup dengan tarian. Anak-anak mulai belajar menari, para pemusik kembali memainkan gamelan, dan Ayu menjadi sosok yang dihormati karena usahanya mempertahankan tradisi. Di mata banyak orang, dia adalah penerus ibunya, tapi di mata Ayu, dia hanya seorang gadis yang mencintai tari tradisional---jejak kaki di tanah Nusantara yang tak ingin terhapus oleh waktu.

Tarian itu kini hidup kembali, menari dalam jiwa setiap orang di desa. Dan Ayu, dengan senyum lembut di wajahnya, tahu bahwa ibunya akan selalu menari bersamanya, dalam setiap gerakan, dalam setiap langkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun