Mohon tunggu...
iksan karsiman
iksan karsiman Mohon Tunggu... -

Man of power

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Intervensi Hukum, Jokowi = Sby

1 Mei 2015   16:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:29 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

6 (enam) bulan kepemimpinan Jokowi, banyak hal-hal yang kemudian dikritisi oleh Mahasiswa, tokoh, akademisi maupun politisi bahwa belum banyak perubahan siginifikan yang telah diperbuat / dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam membangun bangsa ini. Presiden lebih banyak melakukan tebar pesona dengan melanjutkan gaya blusukannnya ke daerah-daerah untuk menggalang dukungan rakyat.

Sebetulnya sangat banyak harapan yang diharapkan rakyat dari seorang Jokowi, figure sederhana yang dimilikinya, gaya bahasa yang cenderung blak-blakan, bukan berasal dari keluarga priyayi (baca: rakyat biasa) serta memiliki keteguhan hati dalam menghadapi tekanan-tekanan dalam pihak manapun.Harapan tersebut sangat mengemuka dan sangat diharapkan Jokowi adalah sosok seorang pemipin yang tegas, tidak peragu, mengedepankan hukum, tidak mengejar pencitraan serta tahan tekanan opini public yang berbeda 180 derajat dengan pendahulunya yaitu SBY.

SBY adalah sosok seorang jenderal militer yang memiliki intelektualitas tinggi, seorang pemikir, dan salah satu pemimpin Indonesia yang patut dibanggakan dalam dunia internasional personality performance nya sehingga SBY mampu memimpin Indonesia selama dua periode.

Lain diluar negeri, lain pula didalam negeri. Jika diluar negeri sosok SBY membanggakan tetapi didalamn negeri sosok SBY mendapat kritikan khususnya pada periode ke dua masa kepemimpinannya. Ia lebih dikenal sebagai seorang Peragu dalam menentukan atau memutuskan sebuah kebijakan sehingga muncul sindiran-sindiran SBY = Suka Bingung Yah ; SBY = Selalu Bimbang Yah ; SBY = Susah Bener Yee, dan lain-lain. SBY lebih banyak menampilkan sebuah pencitraan (baca: mungkin diakhir suksesi kepemimpinannya ingin mendapatkan citra yang positif).

Di negara demokratis, seperti Indonesia, Hukum adalah panglima tertinggi karena sesuai dari tujuannya hukum dibuat dan dibentuk adalah untuk mengatur tata kelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara sedemikian rupa untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat dengan memberikan kewenangan-kewenangan serta kewajiban-kewajiban kepada aparatur pemerintah (pelaksana Negara) dengan rakyat sebagai obyeknya.

Kekuasaan dan kewenangan adalah bagai senjata “CAKRA” milik Krishna dalam cerita mahabarata yang dapat digunakan sesuai apa yang diinginkan oleh yang memilikinya. Pengalaman dari pemimpin Indonesia (dimanapun juga) kerap menggunakan hal ini untuk mencapai tujuannya. Namun pada masa refromasi, yang terlihat sangat transparan adalah pada masa kepemimpinan kedua SBY. Sangat bertolak belakang dengan masa periode pertama, besan SBY yang terlibat Korupsi tidak dilakukan intervensi oleh SBY (apakah ini untuk pencitraan periode ke dua?).

Pada periode ke dua, terlihat aparat penegak hukum (polisi,jaksa, KPK) dijadikan senjata “CAKRA” oleh SBY dalam menyingkirkan pesaing-pesaingnya atau yang sekiranya akan menjadi penghalangnya dan terkesan pilih-pilih tebang dalam penegakan hukum.  Yang paling nyata adalah dengan digunakannya KPK sebagai “pedang” dalam pilih-pilih tebang untuk alasan penegakan hukum. Anas Urbaningrum, Nazarudin, MIsbakhun, Angelina Sondakh, Lutfi Hasan Ishak, Andi Malarangeng dan nama-nama lainnya ditengarai adalah orang-orang yang dipilih untuk ditebang karena mangancam posisi atau krdibilitas SBY dan keluarganya.

Dalam kasus cicak buaya, yang melibatkan pimpinan KPK Chandra – Bibit dalam kasus korupsi Gratifikasi dan Suap. Awal prosesnya SBY memerintahkan untuk proses penyidikan yang equal. Dimana tersangka “pemberi’ yang semula ditangani oleh Bareskrim, yaitu Arimuladi dan Anggodo untuk dilimpahkan ke KPK. Bareskrim kemudian menangani tersangka “penerima” yaitu pimpinan KPK Chandra – Bibit. Saat itu banyak serangan opini yang kemudian ditujukan kepada SBY. Setelah berkas Chandra-Bibit dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan agung, SBY memerintahkan Jaksa Agung untuk melakukan Deponeering dengan Surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKP3), sehingga pimpinan KPK Chandra-Bibit lolos dari hukum (baca: padahal tersangka penerima Suap dan Gratifikasi). Sebaliknya terhadap tersangka “pemberi” yaitu Arimuladi dan Anggodo tetap dilanjutkan oleh KPK dan divonis 6 tahun penjara. Sontak, “ratting” SBY naik atas perintah yang disampaikan kepada Jaksa Agung. Ia muncul sebagai sosok penyelamat. Walaupun hakekatnya SBY telah melakukan “intervensi’ terhadap hukum dan ini jelas-jelas melanggar konstitusi.

Untuk kali kedua, SBY juga melakukan intervensi hukum pada saat Mabes Polri ingin menangkap salah satu penyidik KPK Novel Baswedan karena kasus pembunuhan saat menjabat sebagai Kasat Serse di Bengkulu. Dengan alasan karena sedang menangani kasus Korupsi Simulator SIM korlantas Polri, SBY memerintahkan kepada Polri untuk menunda upaya paksa kepada Novel Baswedan sampai selesainya penyidikan kasus Simulator tersebut.

Di era kepempinan Jokowi, harapan rakyat yang sangat besar akan keteguhan Jokowi terhadap Hukum sebetulnya sudah beberapa kali ditunjukan, kebijakan menenggelamkan kapal asing pencuri ikan mendapat respon positif, tidak akan mencampuri proses penegakan hukum KPK terhadap Komjen BG, tetap menyetujui pelantikan Komjen BG sebagai wakapolri karena pertimbangan sudah tidak lagi berstatus tersangka alias mengembalikan hak-hak insani Komjen BG walaupun ada penolakan-penolakan dari pendukung AS dan BW (baca : KPK ?). yang lebih membanggakan rakyat Indonesia adalah saat Jokowi tidak bergeming atas tekanan dari perdana menteri Australia Tonny Abbott, karena Jokowi sangat menghormati proses hukum Indonesia, eksekusi terpidana mati tetap dilaksanakan.

Namun kebanggan ini terkoyak dengan sikap “mendua” yang ditunjukan oleh Jokowi. Apakah ia sedang mencari pencitraan ? mencari dukungan ? tenang pak Presiden, engkau adalah presiden pilihan rakyat, citramu tetap baik dan rakyat mendukungmu. Sikap presiden yang meniru pendahulunya mengintervensi proses penegakan hukum adalah hal yang keliru.

Ada tiga (3) hal yang disampaikan presiden Jokowi ; 1. Untuk tidak melakukan penahanan terhadap tersangka Novel Baswedan, 2. Proses hukum harus dilakukan secara transparan dan adil 3. Agar jangan lagi ada hal-hal yang kontroversi di masyarakat maupun ketidak sinergian antara KPK-Polri-kejaksaan. Dari ketiga perintah tersebut, perintah ke 2 dan ke 3 menunjukan kenegarawanan Jokowi sebagai presiden dan kepala pemerintahan, namun Perintah untuk tidak menahan tersangka Novel Baswedan adalah bentuk intervensi dan melanggar konstitusi. Padahal presiden Jokowi sudah tahu bahwa menahan atau tidak menahan seorang tersangka adalah kewenangan penyidik. Penyidik bekerja berdasarkan dan atas nama undang-undang.

Tercatat dua kali presiden Jokowi melakukan pelanggaran konstitusi dalam bentuk intervensi proses penegakan hukum, sama dengan pendahulunya SBY yang juga dua kali melakukan hal yang sama. Intervensi dalam proses penegakan hukum. Yang berseteru adalah POLRI dan KPK, sama pada masa SBY. Atau mungkin Jokowi terjebak dalam setting-an pihak-pihak tertentu yang ingin menggoyang kekuasaannya yang konstitusional untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu ? sehingga tanpa disadari Jokowi terbawa dalam alur cerita melanggar konstitusi yang pada akhirnya memberikan ruang untuk menyerang kekuasaannya yang konstitusional.

Lalu bedanya apa JOKOWI dengan SBY ???

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun