Mohon tunggu...
iksan karsiman
iksan karsiman Mohon Tunggu... -

Man of power

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Save KPK: Jangan Standard Ganda, Kasian Rakyat!

26 Maret 2015   18:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:57 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“…Sebuah wawancara Imajiner yang saya lakukan dengan para pendiri bangsa, pejuang, nenek moyang bangsa  serta mereka yang peduli yang tidak saya sebutkan nama-namanya, dihadapkan dengan persoalan bangsa saat ini yang kemudian saya rangkum dalam tulisan bebas ini  dengan harapan saya, anda, kami , kita, mereka dan semua para penerus bangsa saat ini bisa menajamkan mata hati, peka , terus berbenah dan tidak mudah hanyut dalam arus perpecahan hanya karena kepentingan segelintir, sekelompok orang…”

Berdirinya KPK secara historis sebagaimana diketahui bersama adalah karena dimasa lalu (patut diakui) bahwa institusi penegakan hukum seperti Polisi dan Kejaksaan dalam penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi dianggap tidak optimal.  KPK berdiri dengan membawa segudang harapan masyarakat dan bangsa.  Indepensi, profesionalisme, akuntablitas, etis dalam bertindak adalah ciri utama yang diharapkan masyarakat terhadap KPK dalam penanganan tindak pidana Korupsi.

Apa yang terjadi akhir-akhir ini, atau bila kita masuk pada romantisme sejarah hubungan Polri – KPK, gesekan kedua lembaga penegak hukum yang sama-sama memiliki kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tercatat telah beberapa kali terjadi. Dan jujur, energi banyak terbuang percuma dan rakyat dibuat pusing karenanya. Kasus Penembakan Nasrudin Zulkarnain yang kemudian menyeret ketua KPK antasari ashar pada saat itu. Kasus Bibit-Chandra yang kemudian dikenal dengan kasus Cicak-Buaya, kasus Simulator yang melibatkan Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo (Kakorlantas dan wakakorlantas Polri pada saat itu). Pada saat itu publik digiring untuk menyaksikan pertandingan antara Polri dan KPK begitupun dukungan / supporter beramai-ramai menyuarakan “SAVE KPK”. Bahkan pimpinan Nasional negeri ini (presiden) dipaksa untuk turun tangan (baca: mengintervensi) menyelesaikan polemik tersebut. Kasus Bibit-Chandra (tersangka penerima) yang ditangani oleh Polri kemudian dideponeering oleh kejaksaan atas perintah presiden SBY, sedangkan kasus terkait yang ditangani oleh KPK atas nama tersangka Ari Muladi (tersangka pemberi) divonis 6 tahun penjara. Publik pun disuguhkan bak sebuah pertandingan yang dimana dianggap KPK adalah pemenangnya yang kemudian seakan menjadi semacam tradisi bahwa KPK tidak boleh kalah, tidak boleh salah dalam hal apapun untuk atas nama pemberantasan Korupsi.

Yang terakhir dan masih hangat dalam ingatan kita semua adalah adanya penetapan status tersangka kepada Komjen Budi Gunawan, Calon Kapolri yang ditunjuk presiden Jokowi dan diusulkan untuk melaksanakan fit and propper di DPR-RI oleh pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Wijoyanto dalam press conference nya disejumlah media pada tanggal 13 Januari 2015. "….berdasarkan hasil penyelidikan, telah ditetapkan Komjen BG sebagai tersangka suap dan gratifikasi pada saat menjabat sebagai Karobinkar Polri antara tahun 2005 – 2006, dan telah ditemukan 2 alat bukti….”. itu kurang lebih kutipannya. Yang kemudian ada perlawanan dari pihak Komjen Budi Gunawan dengan mengajukan upaya hukum Pra peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Setelah melalui serangkaian persidangan, akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui putusan yang dibacakan oleh hakim Sarpin Rizaldi, menyatakan memutuskan mengabulkan untuk seluruhnya gugatan praperadilan pemohon pra peradilan (komjen Budi Gunawan) dan menolak eksepsi KPK selaku termohon pra peradilan. Mulai dari tidak sahnya penetapan tersangka, tidak berwenangnya KPK menangani dst. Putusan ini pun langsung mendapat respon dari mereka yang “katanya” sebagai penggiat anti korupsi.

Beriringan dengan peristiwa tersebut, Polri juga menerima laporan dari sejumlah masyarakat tentang dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pimpinan KPK dimasa lalu sebelum menjabat sebagai pimpinan KPK maupun pada saat menjabat sebagai pimpinan KPK. Abraham Samad dilaporkan oleh petinggi PDIP Hasto Kristiyanto karena telah bermanuver untuk kepentingan pribadinya untuk maju sebagai wakil presiden mendampingi Joko Widodo. Kehidupan pribadinya pun dilaporkan, mulai dari kedekatan dan hubungan khusus dengan puteri Indonesia, serta foto “syurr” nya bersama seorang wanita yang kemudian diketahui bernama Feriyani Lim dan kemudian menjadi tersangka karena pemalsuan dokumen sebelum Abraham Samad menjadi pimpinan KPK. Termasuk dengan David Andresmito seorang dokter gigi dan pengusaha muda asal jawa timur pemilik Klinik kesehatan yang juga diduga sebagai makelar pengadaan alat kesehatan dan suap di jawa timur (ramai diulas oleh media jawa timur). Berbagai versi pembelaan sudah dilakukan oleh Abraham Samad termasuk rilis tentang foto yang dianggap palsu, padahal polisi sudah mengantongi bukti yang lebih lengkap.

Kemudian dengan terjadinya upaya paksa terhadap pimpinan KPK Bambang Wijoyanto oleh bareskrim Polri atas sangkaan bahwa Bambang wijoyanto telah merekayasa kesaksian dalam sengketa pilkada kabupaten Kotawaringin Barat yang digelar di Mahkamah Konstitusi, dimana  dalam persidangan tersebut akhirnya Mahkamah Konstitusi memenangkan kandidat bupati yang saat ini menjabat. Laporan masyarakat tersebut masuk ke Bareskrim, lalu ditindak lanjuti. Jika dibandingkan dengan Samad, dukungan terhadap Bambang Wijoyanto terasa lebih besar dan sampai saat ini terus gencar melaksanakan aksi-aksi gaya LSM-nya. Mengapa ? memang diakui bersama didalam tubuh KPK sendiri pengaruh Bambang lebih besar ketimbang Samad.  Para pendukung seperti Imam Prasojo, Denny Indrayana, Haris Azhar dan lain-lainnya memang berafiliasi dengan Bambang. Secara terpisah, para pendukung (baca:penggiat anti korupsi) gencar menyuarakan istilah “KRIMINALISASI” padahal secara istilah ini sudah berkali-kali dibahas oleh para pakar bahwa hal tersebut adalah tidak ada. Bahkan wakil presiden Jusuf Kalla sudah menyampaikan saat mereka mengunjungi wapres di instana, bahwa tidak ada istilah Kriminalisasi. Yang ada adalah proses penegakan hukum, yang muaranya adalah dipengadilan sampai dengan ada putusan yang bersifat tetap.

Bambang Wijoyannto adalah seorang pengacara yang juga aktif sebagai aktifis LSM, sebagai pimpinan KPK dengan sejumlah kewenangan superbody dan tentunya dibalik itu terdapat kewajiban superbody juga, termasuk Samad, Zulkarnaen dan Adnan Pandu harus ingat juga tentang apa yang pernah mereka lakukan dimasa lalu. Istilah “No Body’s Perfect” mungkin harus dipahami oleh kita semua termasuk didalamnya adalah para pimpinan KPK, pegawai KPK dan para penggiat anti korupsi. Apakah ada jaminan, bahwa para pimpinan KPK, pegawai KPK dan para penggiat anti korupsi sudah berarti bersih 100 persen ? Samad memiliki harta lain yang tidak ia laporkan dalam LHKPN, Bambang memiliki rumah di Bandung (besar) memiliki kendaraan Toyota Landcruiser seharga kurang lebih 2 M serta beberapa ekor kuda pacu yang disimpan dan dipelihara di sekitar pacuan kuda Pulo Mas Jakarta Timur yang tidak ia masukan dalam LHKPN. Tidak menutup kemungkinan demikian pula dengan Zukkarnain dan Adnan Pandu. Novel Baswedan, memiliki rumah mewah di Kelapa Gading, dan juga pernah menerima rumah dari seorang pengusaha di Jakarta sebagai imbalan dari tidak ditempatkannya sejumlah mobil mewah yang disita dari tersangka korupsi Tb. Wawan di KPK, melainkan disimpan ditempat lain entah dimana. Selain proses hukum yang ia (Novel) harus hadapi terkait dengan pembunuhan terhadap tersangka yang dilakukan saat menjabat sebagai kasat serse di Bengkulu.

Imam Prasojo, yang merupakan anggota tim Sembilan dan yang paling terlihat gencar menggalang dukungan dan menggerakan dukungan melalui ILUNI dan alumni perguruan tinggi lainnya, ternyata juga terkait dengan kasus pengadaan logistic pemilu beberapa tahun lalu yang kemudian melibatkan Daan Damara dan Prof. Mulyana Kusumah. Konon laporan ini juga sudah ada pada polri. Yang terakhir dan yang masih hangat adalah persoalan yang melilit Denny Indrayana sehubungan dengan adanya laporan yang juga masuk ke Bareskrim tentang Korupsi pengadaan Payment Gateway di Kemenkumham saat ia menjabat Wakil mentri hukum dan Ham.

Denny kemudian menggalang dukungan dan kembali menggunakan media dan jejaring media social untuk membentuk opini bahwa ia tidak bersalah, tidak ada korupsi, tidak ada kerugian Negara. Sebuah tontonan yang tidak baik yang dipertunjukan oleh seorang yang mengerti hukum, seorang guru besar dan “katanya” pahlawan anti korupsi dengan berbicara diluar tempatnya (media, unjukrasa dll) untuk sebuah pembenaran dan upaya pembenaran atas apa yang dihadapinya, pun begitu dengan para “pendukung”nya yang langsung men-justifikasi bahwa Denny tidak bersalah. Padahal datang kepada penyidik saja belum ? memberikan keterangan dan klarifikasi atas persangkaan yang kemudian disertai bukti-bukti dihadapan penyidik juga belum pernah ? perkaranya disidangkan juga belum. Kita semua tahu bahwa muara dari suatu proses penyidikan atau proses penegakan hukum adalah pada sidang pengadilan. Pengadilan-lah yang akan memutuskan seseorang bersalah atau tidak bersalah. Keyakinan hakim tidak boleh diintervensi oleh siapapun (termasuk oleh KPK terhadap para hakim pengadilan tipikor, hanya supaya public tahu seorang terdakwa divonis bersalah). Dalam setiap putusannya hakim bertanggung jawab langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya lebih mutlak.

Yang lebih lucu lagi, dan tampak sekali standar ganda yang digunakan ditunjukan oleh Prof Jimly, seorang pakar, dan anggota Tim 9 yang sepertinya juga sudah dibutakan mata hatinya oleh istilah dukung mendukung dalam pembentukan opini, bahwa mereka (baca : pimpinan KPK, pegawai KPK dan para pegiat anti korupsi serta para pendukungnya) tidak boleh tersentuh hukum alias KRIMINALISASI. Bagaimana mungkin seorang Prof Jilmly, bisa mengatakan bahwa kasus Korupsi yang melibatkan Denny Indrayana adalah masalah sepele ? sebagaimana dimuat didetik.com. Apakah karena tersangkanya adalah mereka (baca : pimpinan KPK, pegawai KPK dan para pegiat anti korupsi serta para pendukungnya) maka kasus korupsi tersebut adalah SEPELE ?? tetapi bila tersangkanya adalah pejabat atau polisi maka kasus Korupsi tersebut Luar biasa ?. Korupsi sudah di deklarasikan sebagai sebuah kejahatan yang luar biasa, serius, extraordinary makanya dibentuk juga KPK yang serba extraordinary. Korupsi ya korupsi, tidak ada korupsi yang sepele dan  hanya penilaian sepihak. Biar semuanya berproses, buktikan didepan sidang pengadilan.

Dalam Undang-undang Korupsi, karena kebijakannya kemudian memperkaya diri sendiri atau orang lain, ya Korupsi ((mereka (baca : pimpinan KPK, pegawai KPK dan para pegiat anti korupsi serta para pendukungnya) juga sudah tahu)). Saya berasumsi, bisa saja Denny Indrayana tidak memperkaya diri sendiri atas kebijakan payment gateway, tapi ada orang lain atau pihak lain yang menjadi kaya atas kebijakan tersebut, ya jelas Denny Indrayana adalah tersangka Korupsi. Denny Indrayana bukan KPK, Denny adalah Denny. Jadi salah juga bila kemudian digeneralisasi opini menjadi Kriminalisasi KPK oleh Polri. Sekali lagi Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah mengatakan tidak ada Kriminalisasi.

Rangkuman peristiwa yang menimpa dan yang harus dihadapi oleh para pimpinan KPK, pegawai KPK dan penggiat Anti Korupsi, ini semua yang digeneralisasi sebagai upaya KRIMINALISASI oleh Polri kepada KPK.  Dan isitlah Kriminalisasi didefinisikan dan diinterpretasikan secara negative untuk mendapatkan simpati dan dukungan rakyat (baca: yang tidak tahu apa-apa).

Sebagai masukan, Istilah Kriminalisasi (bahasa Inggris: criminalization) dalam ilmu kriminologi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat. Penggunaan kata Kriminaliasasi oleh media. Dalam perkembangan penggunaannya, kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan.  Penggunaan istilah Kriminalisasi ini menjadi sexy, karena mendapat respon dari public dan memiliki nilai jual untuk pengusaha media mendapatkan keuntungan karenanya. Sebagai contoh dalam perseteruan KPK dan polisi, kata kriminalisasi digunakan media untuk mendefinisikan upaya polisi menjerat pemimpin KPK. Upaya menjerat ini diartikan sebagai langkah yang mengada-ada, mencari-cari, merekayasa, menyalah gunakan kewenangan secara sedemikian rupa untuk menjerat pimpinan KPK, pegawai KPK dan para pegiat anti Korupsi. Padahal sejatinya tidak lah seperti itu. Masyarakat juga harus dibukakan mata hati dan pintu hatinya, jangan kemudian tertutup oleh belenggu semu ciptaan mereka yang selalu membuat opini public dan menggalang dukungan public. Apa yang dilakukan oleh polisi semata-mata karena adanya laporan. Dan kewajiban polisi adalah menindaklanjuti, merespon dengan cepat setiap laporan yang masuk dan tangani secara professional, begitu kira-kira tuntutan masyarakat terhadap polisi.

Apakah bila ada laporan yang masuk ke polisi, karena kebetulan yang menjadi pihak yang dilaporkan tersebut adalah pimpinan KPK, pegawai KPK dan para pegiat anti korupsi penanganannya harus ditunda ?, harus dikesampingkan atau bagaimana ? kasihan juga polisi, disatu sisi dituntut untuk menerima laporan, menangani tuntas, tetapi kemudian dianggap melemahkan KPK atau meng- KRIMINALISASI KPK. Lalu galang dukungan untuk laporan yang saat ditangani polisi semuanya dihentikan. Yang lebih lucunya (rakyat diberikan tontonan) yang menyatakan dan meminta untuk dihentikan adalah mereka yang memiliki latar belakang ilmu hukum pidana (kalau ilmu hukum yang lain wajar karena saya anggap tidak tahu).

Kira-kira bila salah satu sanak keluarganya (baca : pimpinan KPK, pegawai KPK dan para pegiat anti korupsi serta para pendukungnya) yang menjadi korban kejahatan dan kebetulan pelakunya adalah para pimpinan KPK, akankah juga mereka akan meminta polisi untuk menghentikan penyidikannya ??? dengan alasan mereka adalah penggiat anti Korupsi ????

Apalagi kemudian mereka (baca : pimpinan KPK, pegawai KPK dan para pegiat anti korupsi serta para pendukungnya) mengatakan bahwa polisi mengada-ada dengan menangani perkara yang sudah lampau, disaat mereka belum menjabat. Bila pandangan sempit seperti ini yang dikembangkan, lalu apa bedanya dengan KPK yang juga menyatakan Komjen BG sebagai tersangka suap dan gratifikasi pada masa lampau ???. Pengadilan Jakarta Selatan pun menerima untuk seluruhnya gugatan praperadilan Komjen BG atas penetapan dan proses yang dilakukan oleh KPK. Hal ini adalah realitas hukum. Sontak kemudian hakim Sarpin Rizaldi menjadi bulan-bulanan opini yang dipublikasikan mereka, termasuk mereka yang ingin terlihat bersih dan mendukung KPK supaya ratting-nya naik. Fakta hukum yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, sebetulnya menunjukan bahwa sebenarnya Komjen Budi Gunawan-lah yang di KRIMINALISASI oleh KPK bukan sebaliknya.

Pesan saya dari wawancara imajiner ini, mari Benahi Diri Tegakan Hukum Dengan Mata Hati bukan dengan tendensi, kepentingan dan supaya ingin tenar serta terlihat bersih (luarnya). Kasihan rakyat dibuat bingung.

Ingat !!! POLISI,JAKSA,HAKIM,PENGACARA dan KPK kalian adalah PENEGAK HUKUM !!! kalau pendukung dan LSM....bukan....mereka hanya mencari panggung, supaya tenar dan ada pemasukan alias cari makan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun