Sore itu cuaca sangat cerah. Para penghuni desa Metaloa banyak yang menghabiskan waktunya di taman Lantana. Ada yang hanya duduk-duduk di bangku, bermain ayuanan, dan ada berjalan mengelilingi taman. Di dekat pancuran taman, ada sekelompok anak-anak yang sedang bercakap-cakap. Oh rupanya mereka sedang saling bercerita.
“Di antara semua keluarga di metaloa ini, keluargaku yang paling hebat,” ujar salah seorang anak bernama Fero. Dia menambahkan lagi,”Tahukah kalian, keluargaku yang paling banyak berjasa.”
Seorang anak di sebelahnya yang bernama Magnesia bertanya,”Ah masa sih? Memang apa saja jasa keluargamu?”
“Banyak,” sungut Feri. “Kalian tahu pagar-pagar di istana Maharaja Gas Mulia. Nah itu semua dibuat dari keluargaku,”
“Ah, Cuma jadi pagar saja. Keluargaku malah dibuat jadi pesawat kenegaraan Maharaja Gas Mulia,” ujar Alumina.
“Gitu aja kamu bangga. Selain jadi pagar, keluargaku juga juga dijadikan bahan-bahan bangunan di negeri ini. Selain kuat keluargaku juga mengkilat. Keluargamu tak ada apa-apanya,” Fero masih membanggakan diri dan keluarganya.
“Oh gitu, iya deh keluargamu memang hebat. Kuat juga. tidak seperti keluargaku yang lembek,”kata Natria. Dia rupanya mulai enggan berbicara dengan Fero. “Ya sudah, aku pulang dulu ya Fero. Kapan-kapan kita main lagi.” Natria lalu meninggalkan Fero. Langkahnya disusul oleh teman-temannya.
“Huh, mereka itu memang iri padaku dan keluargaku. Padahal semua penduduk di sini kan sudah mengakuinya,” ujar Fero setelah teman-temannya pergi. Dia pulang sambil bersiul dan masih membayangkan kehebatan-kehebatannya.
Keesokan harinya, Fero kembali bermain bersama teman-teman di taman. Mereka kali bermain adu kuat mengangkat batu di taman. Permainan ini Fero yang mengusulkan. Dia hanya ingin bisa memperlihatkan kemampuannya. Semua ikut dalam permainan ini. Giliran pertama Natria yang mengangkat. Dia sangat kepayahan sampai keringatnya bercucuran.
“Haha. Kamu payah sekali ya. Mengangkat batu segitu saja tidak kuat,” eek Fero.
Natria tidak menanggapi ejekan Fero. Dia hanya diam saja, berharap Fero segera sadar.
Lalu Magnesia mendapat giliran kedua. Dia juga sangat kepayahan. Meski bisa mengangkat, setelah itu dia seperti ingin pingsan. Lagi-lagi Fero mengejek,”Huu, Magnesia magnesia. Kamu itu cuma bisa jadi kembang api di istana saja. Habis itu sudah deh,”
Kali Magnesia cukup dongkol dengan ejekan Fero. “Awas saja ya kamu Fero kalau juga tak kuat mengangkat batu ini,” sungut Magnesia dalam hati.
Teman-teman Fero lainnya seperti Alumina, Titania, dan Vanadia juga tak kuat mengangkat batu itu. akhirnya, tibalah giliran Fero. Kali ini tanpa kesulitan Fero mengangkat batu tadi. dengan senyum mengembang dia mengejek teman-temannya,”Lihat. Kuat kan aku, kalian mana bisa?”
Teman-teman Fero mengakui bahwa dirinya memang hebat. Namun, mereka mulai enggan bermain dengan Fero kembali. Mengetahui teman-temannya enggan bermain dengan dirinya, dia segera mencari teman baru. Dia berjalan menuju sungai di desa sebelah.
“Huh, mereka memang gak seru. Payah semua. Lebih baik aku cari teman baru yang seru”.
Dia berjalan semakin jauh dan jauh. Hingga di tepi sungai dia beristirahat. Dilihatnya dua anak sedang asyik bermain perahu. Sepertinya permainan mereka menyenangkan, bisik Fero.
“Hei, aku boleh gabung dengan kalian?” tanya Fero.
Dua anak tadi segera menghampiri Fero. “Boleh aja, perkenalkan, namaku hidro dan ini temanku oksi. Kita lagi main perahu, seru deh. Kamu mau ikut?” kata salah satu anak.
“Oke, aku mau. Gimana cara mainnya?” tanya Fero.
“Gampang, kamu tinggal naik perahu ini, Terus kita balapan sampai ujung dermaga. Mudah bukan?” kata Oksi.
Fero mengangguk. Dia akan menujukkan kehebatannya lagi kali ini. Dan dia akan menceritakan kehebatannya pada teman-temannya. Fero pun naik perahu dan mulai beraksi. Rupanya dua anak tadi sangat hebat. Fero harus berjuang keras agar menjadi yang terdepan. Tapi memang Fero hebat, dia sangat cepat dan sampai di dermaga paling awal.
“Wah kamu hebat. Besok kita main lagi ya,” kata Oksi.
“Oke, siapa takut. Aku pasti menang lagi,” ujar Fero.
Fero pun pulang. Dia sangat bangga dengan dirinya. Dia merasa menjadi anak yang paling kuat, tidak hanya di desa Metaloa, tapi juga di desa seberang. Besok dia akan unjuk kebolehan lagi. Sampai di rumah, dia merasa lelah. Setelah makan, dia lalu tidur.
Keesokan paginya, dia sudah siap akan bermain lagi. Tapi kali ini dia merasa badannya sakit semua dan tak bisa digerakkan. Untuk bangun saja dia tak kuat. Dia keget menyadari tubuhnya yang mengkilap kini menjadi kecoklatan. Dia lalu menangis.
Ibunya yang mengetahui Fero menangis segera menghampirinya. “Fero kamu kenapa?”
“Huuu, aku tak tahu Bu, Aku kok jadi begini,” isak Fero.
Ibu Fero bertanya pada Fero kemarin dia dari mana saja. Fero pun bercerita semuanya. Ibu Fero sadar akan kesalahan anaknya dan berkata “Nah, kau sudah melanggar patangan dari Ibu. Dulu kau sudah kularang bermain jauh-jauh. Sekarang kau sudah terkena penyakit oksidasi. Mungkin kau terlalu lama bermain bersama dua teman barumu itu. Sudah, kau istirahat saja dulu”.
Fero pun menyesal. Dia sudah bersalah sudah bersikap seperti ini. Dia berjanji tak akan membanggakan dirinya dan keluarganya. Dia berharap semoga teman-temannya mau memaafkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H