Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Raskin (6)

27 Januari 2014   08:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Episode Sebelumnya : <<<<

Ardi memacu kencang motornya menuju kompleks perumahan. Dia harus memberi pelajaran pada wanita itu. Sesampainya di rumah besar, dia langsung menekan bel.

“Siska, keluar kamu! Aku tahu kamu ada di dalam, cepat keluar!”

Lama tak ada jawaban.

“Hei cepat keluar. Atau aku jebol pagar rumahmu!”

Rupanya teriakannya didengar oleh pembantu yang tempo hari memberinya minuman. Sambil tergopoh-gopoh dia membukakan kunci pagar.

“Mana majikanmu?” tanya Ardi sambil berkacak pinggang. Kesabarannya sudah habis.

“Ehm…. masih mandi tuan. Anda disuruh menunggu sebentar”, ujar pembantu itu ketakutan.

“Bilang sama majikanmu. Suruh cepat keluar. Atau aku akan seret dia ke sini!” bentaknya.

Perempuan paruh baya itu hanya diam. Dia tampak ketakutan. Tak lama kemudian sang penghuni rumah pun muncul. Tanpa merasa bersalah dia berjalan dengan melenggang ke arah Ardi.

“Oh pangeranku muncul lagi. Apa kabar, sayang? Bagaimana kemarin rasanya? Masih enak tidak?”

“Bedebah. Jangan main-main denganku. Kau sudah berani merusak rumah tanggaku. Belum puas juga kau mempermainkanku?” Ardi sangat gemas. Ingin rasanya menghajar wanita itu.

“Hmmm,,kau tak banyak berubah ya. Hanya mungkin sedikit keriput yang mulai tampak di wajahmu. Tapi,,,, lihatlah. Kau masih tampan seperti dulu” tanpa melihat amarah Ardi, wanita bernama Siska itu menyentuh leher pria yang dicintainya itu.

Melihat gelagat buruk itu, Ardi langsung menampiknya.

“Dasar kau murahan. Bodohnya aku pernah mengenalmu. Ingat, kalau kau berani nekat lagi aku tak segan-segan menghabisi nyawamu”, ancamnya. Ardi segera menyalakan motornya dan melesat kea rah jalan raya.

“Hmmm, semakin kau mencoba berpaling, semakin kuat aku akan mengejarmu”, gumam Siska melihat Ardi pergi.

Ardi sangat marah. Dia ingin sekali memberi wanita itu pelajaran. Mengapa tadi dia tidak sekalian saja mencekiknya. Motornya dikendarai dengan cepat. Tak tahu akan ke mana. Bayangan tentang Siska kembali muncul. Meski sempat lama hilang sejak dia menjalin hubungan dengan Heni, kini wanita itu mengganggu hidupnya lagi.

“Di, tunggu penjelasan dariku,” Siska mengejar Ardi.

“Penjelasan apa lagi. Kau sudah mempermainkanku. Untung aku tidak sempat tidur denganmu. Cari saja pria lain yang senang tidur denganmu!” bentak Ardi. Sekelompok mahasiswa melihat pertengkaran mereka. Siska tetap megejar hingga pintu gerbang kampus. Tapi Ardi dengan cepat menaiki ojek yang membawanya pulang.

Itulah pertemuan terakhir mereka. Sejak saat itu mereka tidak lagi bertemu. Ardi yang mulai sering tampil di kejuaraan memutuskan berhenti kuliah. Tidak ada lagi minat dengan namanya kuliah. Apalagi jika ia melihat kampusnya, bayangan buruk Siska akan senantiasa menaunginya. Siska memang harus dijauhi. Dia hanya mencari kepuasan dari satu lelaki ke lelaki lain. Sudah banyak lelaki yang menjadi korban Siska. Dari mahasiswa hingga pejabat kelas atas. Sampai kapan dia akan seperti itu. Kini ia muncul lagi. Wajahnya telah banyak berubah. Sampai kemarin ia tak mengenalinya.

-------------ooooo-----------------------------------------------------------------------ooooo-------------------------------------

“Eh, Bu. Kita ini makin susah aja ya, sejak beras raskin dihentikan, saya makin ngirit aja. Mana uang dari suami segitu-segitu aja”, Bu Fara memulai pembicaraan. Sekelompok ibu-ibu sedang berkumpul di depan rumah Bu Ida.

“Iya jeng. Mana si Toni minta dibelikan ini itu. Katanya sih, buat sekolah. Tapi mahalnya itu lho gak ketulungan”, pemilik rumah, Bu Ida menimpali.

“Harusnya mereka sadar dong. Si sini kan warga pada lagi susah. Kalau gini terus, bisa-bisa kita kelilit utang sama rentenir, macam si Herman itu”, Bu Eni bersungut.

Memang pencabutan raskin itu sedikit banyak menambah beban warga kampung. Meski banyak sekali yang menjual kembali raskinnya, tapi setidaknya uang hasil penjualan bisa digunakan untuk kebutuhan.

Pembicaraan tadi rupanya didengar oleh dua pria. Keduanya menyimpulkan hal yang sama. Ada kejanggalan yang sedang terjadi. Kini mereka harus bekerja keras mengungkapkan semua ini.

-----------ooooo---------------------------------------------------------------------------------------ooooo-----------------------

Hari beranjak malam. Lampu temaram mulai dinyalakan. Kehidupan malam Kota Jakarta mulai menggeliat.

“Papa mana, ma. Papa mana?” Sisi lagi-lagi merengek.

“Papa lagi keluar kota, ada pekerjaan. Kamu diam saja ya, nanti gak sembuh-sembuh” Heni mencoba menenangkan.

“Gak mau, pokoknya papa mana. Aku maunya sama papa”, tangis Sisi pun pecah.

Heni semakin bingung. Persediaan makanan semakin menipis. Dilihatnya Sisi makin lama semakin memperihatinkan. Kakaknya, Sasa, hanya makan nasi dengan kerupuk. Dirinya sendiri belum makan dari siang tadi. Bukan hanya tak ada makanan, tapi tak ada dorongan untuk makan. Pikirannya sangat kacau. Pria yang seharusnya menjaganya di saat seperti ini malah mengkhianatinya.

Sejenak dia merenung lebih dalam lagi. Apa memang tadi dia terlalu marah sampai tidak bisa berpikir jernih. Bisa saja itu memang ulah wanita tadi. Ardi memang kadang-kadang terlalu polos. Senang berbuat tanpa berpikir masak-masak. Tapi melihatnya berbuat tidak sepantasnya itu membuatnya juga memendam rasa kecewa pada suaminya.

Lamunannya terhenti melihat darah segar mengalir dari hidung Sisi. Tangisan Sisi pun berhenti. Dilihatnya Sisi kini memejamkan matanya. Heni panik, dengan segera dia mencari pertolongan.

Sementara itu di dekat sebuah bangunan sepi di dekat kompleks perumahan Ardi memarkir motornya. Sejak melabrak Siska dia hanya berputar-putar jalan. Dia merasa lelah dengan semua ini. Sekuat dan setegar apapun seorang pria, pada akhirnya akan pernah merasa lelah saat berada pada titik nadirnya. Ardi mencoba untuk berpikir jernih. Dia merasa tindakannya selama ini terlalu tergesa-gesa. Hampir saja ada niat untuk mencelakakan Siska tadi. Jika itu yang dia lakukan, anak istrinya pasti akan semakin menderita. Tak terasa air matanya perlahan menetes. Tidak, dia tidak boleh menangis. Tidak ada kata menangis bagi seorang pria. Tapi, air mata itu sudah terlanjur jatuh. Tak mungkin lagi kembali. Biarlah dia jatuh. Biar semua rasa sebak di dada ini keluar.

Cukup lama dia berada di situ. Akhirnya dia memutuskan untuk segera pulang. Mudah-mudahan saja istrinya sudah tak marah lagi. Dia bertekad untuk menjadi suami yang lebih baik lagi. Baru saja akan menyalakan motornya, mendadak dua orang yang dikenalnya muncul dari dalam bangunan tadi. Secara reflek, Ardi mencari tempat sembunyi. Bukan hal baik jika mereka tahu keberadaannya. Dengan segera ia menuntun motornya di balik sebuah bangunan yang belum jadi.

Dua orang tadi ternyata Herman dan Arya. Ardi mengenalinya dari tato Herman yang tampak dari lengannya. Mereka berdua berjalan ke arahnya. Untung, mereka tak menyadari kehadirannya.

“Ya, aku sungguh tergila-gila sama Heni. Sebentar lagi dia jadi istriku”.

“Benar. Si Siska itu pintar juga ya. Memang pas aku kenal dia tempo hari di Bali. Ternyata tujuan kita sama”, ujar Arya.

“Ah, katanya kau mau menghabisi dia”.

“Udahlah. Sudah tidak perlu itu. Aku lihat dia hancur gini sudah puas aku”,

Ardi mendengarkan dengan seksama. Darahnya kembali naik. Jahanam, kutuknya dalam hati. Tapi dia tak bergeming dari tempatnya sambil terus mendengarkan pembicaraan mereka.

“Duit dari Siska sudah kau dapat?” tanya Herman.

“Sudah, tapi dia baru kasih tiga juta dulu. Itu katanya uang muka buat kehormatan kekasihnya itu. Nanti kalau kita dapat dia lagi, Siska bakalan kasih kita lebih banyak lagi” Arya berkata sambil menyalakan rokoknya.

Sial. Benar-benar keterlaluan. Harga diriku diberi uang muka tiga juta. Kau anggap aku apa Siska? Ardi masih mencoba tenang. Genggaman tangannya sudah mulai mengepal dan siap untuk dilepaskan. Tapi dirinya tak boleh gegabah, pikirnya. Saat ini bukan waktu yang tepat. Tunggu saja saat yang tepat untuk menghancurkan semuanya.

“Pak Hendrik tadi kemari. Mungkin esok pagi buta dia kembali lagi” Arya mengganti topik pembicaraan.

“Dia ngapain ke sini, bawa duit gak?”

“Pikiranmu itu duit mulu. Tadi dia hanya ngecek apakah beras di sini aman? Jaga-jaga kalau ada yang tahu, apalagi warga”.

“Habis, ini kesempatan buatku minjemin duit ke warga yang bodoh itu”, sungut Herman.

Kepalan tangan Ardi semakin kuat. Sekuat tenaga dia mencoba sabar. Mereka benar-benar bajingan. Tidak hanya mempermainkan dirinya, tapi juga mempermainkan warga. Perbuatan mereka harus segera harus segera dihentikan.

Dua orang tadi lalu masuk kembali ke dalam. Mereka telah puas mencari angin. Setelah mereka hilang dari pandangannya, Ardi lalu menuntun motornya dan baru menyalakannya saat mulai jauh dari tempat itu. Dua orang tadi tidak mengetahui keberadaannya di situ.

Diarahkan motornya ke kampungnya. Lalu dia bergegas menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, Ardi heran melihat rumahnya kosong dan terkunci. Dia memanggil anak dan istrinya. Tidak ada jawaban. Ke manakah mereka semua.

Dia berjalan ke arah rumah tetangganya, Pak Amrin.

“San, kamu tahu istri dan anak-anakku ke mana?” tanya Ardi pada Sandi, putra Pak Amrin. Pemuda itu sedang asyik melihat TV.

Sandi yang sedang menonton TV langsung beranjak dari tempat duduknya.

“Ke mana saja kamu Mas Ardi. Tadi Mbak Heni ke sini teriak-teriak. Si sisi katanya tak sadarkan diri”.

“Apa? Sisi tak sadarkan diri? Lalu ke mana mereka?” Ardi mulai panik.

“Mereka sedang ke rumah sakit”, jawab Sandi.

“Ayo kau antarkan aku ke sana!”

“Baik mas. Aku akan mengantarmu ke sana”.

Segera Ardi dan Sandi meluncur ke rumah sakit. Beban Ardi semakin bertambah lagi. Pikirannya kini tertuju pada Sisi. Semoga tidak terjadi apa-apa padanya.

Bersambung

>>>> : Episode Selanjutnya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun