Kemarin saya ditawari untuk membeli motor baru oleh seorang sales motor.
[caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="Ilustrasi/http://www.commercialtunage.com/"][/caption]
Katanya, dalam rangka pembukaan dealer baru dan gebyar 17 Agustus (maksa banget), pihak dealer memberi diskon besar-besaran. Diskon ini berlaku bagi pembeli motor secara kredit, berupa potongan uang muka pembelian. Tawaran ini langsung saya tolak dengan halus. Alasannya klasik, tak ada uang, hehe. Tapi bukan itu sih, alasan utamanya adalah motor saya masih bagus, ya meskipun angkatan 80an. Selain itu, saya cukup trauma dengan kredit motor saat mengingat pengalaman ayah saya dulu.
Sebenarnya, ayah saya tidak berniat membeli motor secara kredit. Alasannya seperti yang saya utarakan tadi, masih ada motor. Nah, suatu ketika beliau diminta untuk membantu saudara jauh saya yang akan membeli motor kredit. Kebetulan, dia berdomisili di luar kota dan berniat membeli motor baru di kota saya. Peraturan yang berlaku mengharuskan bahwa calon pembeli haruslah berasal dari kota yang sama, dengan menunjukkan identitas diri. Karena dia tak punya KTP kota saya, maka dia meminta bantuan ayah saya dengan meminjam nama beliau. Gampangnya, pembelian motor dilakukan atas nama ayah saya tapi yang membayar saudara saya tadi.
Mengingat masih berhubungan saudara, ayah saya tak keberatan. Praktik seperti ini juga dilakukan para tetangga yang juga meminjamkan “namanya” untuk saudara/kerabatnya. Sekitar satu tahun berjalan tak ada masalah. Saudara saya tadi membayar cicilan motor dengan tepat waktu. Masalah mulai muncul pada tahun kedua (cicilan berlangsung selama 3 tahun). Seorang debt collector mendatangi rumah saya. Dia memberi tahu bahwa sudah 2 bulan cicilan motor harus segera dibayar. Nah lho.
Ayah saya pun segera menelepon saudara saya tadi yang membeli motor. Ternyata, dia telah menjual motor tadi kepada orang lain. Kompensasinya, dia menerima sejumlah uang dan orang yang membeli tadi harus meneruskan sejumlah uang yang masih menjadi tanggung jawab cicilan. Orang inilah (seterusnya disebut si X) yang rupanya mbalelo dalam melaksanakan kewajibannya. Tapi, karena pembelian motor atas nama ayah saya, maka debt collector terus-menerus menagih ke rumah saya.
Si X tadi rupanya tidak memiliki iktikad baik dalam memenuhi kewajibannya. Setelah dibayar lunas bebarapa bulan, maka dua bulan berikutnya dia tidak kembali menjalankan kewajibannya. Lagi-lagi, karena pembelian atas nama ayah saya, maka mau tak mau beliau juga harus bertanggung jawab. Akhirnya, ayah saya meminta kepada pihak dealer untuk mengganti nama pembelian motor kepada Si X tadi. Nah Si X ini cukup cerdik tak mau jika dilakukan penggantian nama. Alasannya mudah ditebak, pasti akan mangkir kembali dari tanggung jawabnya. Saudara saya yang membeli motor tak bisa berbuat apa-apa.
Tapi pihak dealer cukup mengerti kondisi ayah saya. Pada suatu hari, dilakukanlah sebuah penjebakan. Karena harus mengurus perpanjangan STNK tahunan yang masih atas nama ayah saya, Si X pun harus datang ke rumah saya. Pada hari tersebut, debt collector yang biasanya menagih bersembunyi di dekat jalan menuju rumah saya. Saat si X datang, mereka pun langsung datang dan “meringkus” si X. Karena tak bisa berbuat apa-apa, si X pun menyerah dan ajaibnya langsung melunasi semua cicilan motornya. Nah punya uang gitu.
Dari kejadian ini, ayah saya tak akan lagi berniat meminjamkan namanya untuk dijadikan “jaminan” pembelian kredit motor, baik oleh saudara dekat pun. Ada beberapa catatan yang cukup mengganjal saya dalam sistem kredit motor (mungkin juga mobil) di Indonesia.
Pertama, mengapa diperbolehkan dalam mencatut nama orang lain untuk membeli motor secara kredit. Maksud saya begini. Peraturan di dalam pengambilan kredit motor memang cukup ketat. Sebelum terjadi deal biasanya petugas dealer akan melakukan survey ke calon debitur dengan meminta persyaratan khusus seperti slip penghasilan, rekening listrik, dll. Nah pada saat survey, mengapa diperbolehkan terjadi proses pencatutan nama seperti ini. Saat petugas dealer datang, ada juga saudara saya yang berniat melakukan kredit tadi dan mengutarakan maksudnya. Dengan entengnya, petugas dealer pun meng-acc proses transaksi. Apakah tidak ada peraturan yang menyatakan bahwa calon pembeli motor harus menggunakan namanya sendiri, bukan oleh orang lain (pengecualian untuk seorang ayah/ibu yang membelikan motor anaknya).
Kedua, apakah tidak ada peraturan yang melarang melakukan transaksi jual beli motor yang masih memiliki tanggungan cicilan dengan pihak ketiga, seperti Si X tadi. Kejadian seperti ini juga terjadi pada teman saya yang membeli motor bekas namun ternyata ia menjadi pihak keempat (malah ribet). Sepengetahuan saya, transaksi semacam ini tidak diperbolehkan dalam agama saya.
Ketiga, dengan gencarnya kemudahan melakukan kredit (seperti pada pembuatan kartu kredit), banyak masyarakat yang menganggap enteng dalam mengambil kredit motor. Atau boleh dibilang cukup memaksakan diri. Sebut saja, banyak kasus kredit motor yang saya amati berhenti di tengah jalan akibat tak kuat lagi membayar. Kalau sudah begini, sang debitur biasanya akan di-blacklist oleh dealer. Jadi, kalau mau kredit lagi susah kan.
Itulah sekelumit kisah pengalaman ayah saya yang sempat meminjamkan namanya untuk kredit motor. Semoga jadi pembelajaran bagi kita semua. Kredit motor memang tidak salah, yang penting sesuai dengan kemampuan kita dan dengan cara yang benar.
Sekian. Mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H