Bagi yang pernah mengunjungi atau tinggal di Kota Malang, pasti tahu bangunan satu ini.
Masjid Agung Jami’ Malang. Itulah namanya. Masjid yang terkenal karena berita toleransi beragama ini berdiri kokoh hingga kini. Di sebelahnya, sebuah gereja kuno juga berdiri berdampingan. Ketika masing-masing umat merayakan hari besar agamanya, dua bangunan itu menjadi saksi indah bahwa di Kota Malang, gesekan antar agama adalah sesuatu yang sangat ‘mustahil’.
Para sejarawan memiliki beberapa pendapat mengenai perkembangan Kauman. Menurut Handinoto (1996:19) Kauman adalah daerah di sebelah barat Alun-alun Malang. Selain terdapat Masjid Jami’, di daerah ini juga digunakan sebagai tempat tinggal para pemuka agama yang terkait dengan aktivitas keagamaan di Masjid Jami’.
Namun, ternyata Masjid Jami’ sendiri baru dibangun pada tahun 1875. Padahal, jauh sebelum aktivitas di masjid tersebut, perkampungan di daerah tersebut sudah ada, meskipun pusatnya bukan di daerah sekitar Masjid Jami’.
Perkampungan tersebut adalah Talon (kini dikenal dengan nama Talun). Nama Talon sendiri adalah nama perkampungan di bagian utara Kelurahan Kauman, yang berbatasan dengan Bareng, tempat Mal Olympic Garden (MOG) berdiri. Nama Talon tercantum dalam Prasasti Pamotoh, yang berangka tahun 1198 M dan ditulis oleh Mpu Mpu Dawaman.
Prasasti yang kini disimpan di dalam museum Mpu Tantular, Sidoarjo menceritakan bahwa ada seorang Rakryan Patang Juru yang bernama Dyah Limpa, diberi hadiah oleh Sri Maharaja. Hadiah tersebut beberapa daerah di Malang, dan Talon adalah salah satunya. Dari prasasti tersebut, banyak pendapat bahwa daerah Talon telah ada sejak akhir abad XII.
Talun baru menjadi ramai tatkala terjadi pemindahan pusat pemerintahan Katemenggungan Malang dari Madyopuro ke Jodipan (baca : Kampung Warna-Warni Jodipan, Kampung Bersejarah Pembentuk Kota Malang). Talun semakin ramai ketika pembangunan Alun-alun Malang, beberapa tahun setelah pembangunan Masjid Agung Jami.
Pembangunan terus dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan menggeser perkampungan pribumi di sana untuk dijadikan loji bagi warga Belanda. Saya jadi teringat tentang kisah almarhum Kakek saya yang bercerita bahwa dulu sebenarnya keluarga besar kami tinggal di daerah Talun. Akibat tukar guling yang tidak adil oleh pemerintah kolonial (baca: digusur), akhirnya keluarga besar kami digantikan dengan sebidang tanah di sekitar daerah yang bernama Mergan, sekitar 2 kilometer dari Talun.