Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apatisme (Politik) yang Semakin Kronis

27 Maret 2014   15:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:24 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suatu hari saya menunggu seorang teman di sebuah warung nasi pecel. Di warung itu ada beberapa pembeli. Salah satunya seorang bapak tukang becak dan seorang bapak sales panci. Bapak sales panci bertanya, “Mas. Habis ini coblosan. Sampeyan kira-kira udah ada pandangan milih siapa?”

Bapak tukang becak menjawab,”Gak usah susah-susah. Saya milih Gusti Allah saja. Tahu maunya kita”.

Saya ikut bertanya,”Lho maksudnya apa Pak? Gusti Allah masak ikut nyaleg?”

“Iya, Mas. Sampeyan itu ada-ada saja. Milih golput ya?” tambah Bapak sales panci.

Bapak tukang becak tadi memandang gambar caleg yang terpampang di depan warung. Lalu berkata,”Milih gak milih sama aja mas. Gak ada untungnya. Dari dulu gini-gini aja. Mending milih Gusti Allah”.

Lalu Bapak sales panci bilang,”Saya juga pasti milih Gusti Allah Mas. Cuma kita kan di Indonesia, bukan di Arab. Jadi ya harus ada yang dipilih”.

Saya hanya bisa menambahkan,”Nanti kalau Bapak gak milih lalu ada apa-apa, gak bisa protes lho Pak”.

Bapak tukang becak hanya tersenyum. Tak meneruskan pembicaraan.

--------------------------------------------------0000----------------------------------------------------------------------------

Suatu minggu pagi saya berolahraga di car free day. Tak disangka bertemu teman lama. Kami mengobrol ngalor ngidul. Lalu saya iseng bertanya tentang pilihannya di pemilu. Saya tanya apa sudah ada pandangan buat 9 April nanti. Apa jawabannya?

“Saya mantep pilih Partai Komunis Indonesia (PKI). Hanya PKI yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Partai lain mah bull****”.

Saya kaget dia menjawab seperti itu. Saya bertanya lagi,”Lho bukannya PKI udah dilarang ya. Kamu mana bisa nyoblos PKI?”

Dia dengan enteng menjawab,”Gampang. Aku tempel aja gambar palu arit di kertas suara. Lalu dicoblos. Simpel kan. Kamu mau?”

Saya begidig. PKI rupanya menjadi pelampiasan kekesalan terhadap parpol.

Lalu saya bilang,”Oh gitu ya. Gak heran deh negara ini gak maju-maju”.

----------------------------------------------------------0000--------------------------------------------------------------------

Seorang tetangga meminjam koper saya. Saya tanya mau ke mana kok sampai pinjam koper segala. Rupanya dia ingin membahagiakan istri dan anak-anaknya berlibur ke Bali selama sepekan. Saya tanya kapan, sekalian nitip oleh-oleh. Dia bilang akan berlibur saat pekan pemilu nanti. Mumpung sekolah libur. Lalu saya bertanya lho apa gak nyoblos. Dengan entengnya dia bilang,”Ngapain mikir mereka. Mereka berlibur saat kita (rakyat) butuh. Sekarang mending rakyatnya berlibur saat mereka butuh, ya enggak?”

----------------------------------------------------0000-------------------------------------------------------------------------

Tiga kejadian di atas sedikit banyak mewakili apa yang terjadi di negara ini menjelang pemilu. Apatisme politik yang benar-benar kronis. Ketidakmauan masyarakat menggunakan hak pilihnya. Pemikiran bahwa pemilu adalah hal yang sia-sia, membuang waktu, dan membuat sakit hati.

Kondisi yang mengkhawatirkan ini memang menjadi masalah tersendiri. Saat kita butuh pemimpin baru yang mampu membawa bangsa dan negara ini lebih baik lagi, justru tidak diimbangi dengan kemauan untuk memberikan perubahan.

Kesalahan memang sepenuhnya tidak bisa dialamatkan pada orang-orang tadi. Sedikit banyak mereka memang muak dengan apa yang disebut politik dan partai politik. Politik dan partai politik adalah hal tak penting, sesuatu yang jauh dari mereka, dan merupakan hal abstrak yang sia-sia. Mereka bagaikan melihat politik dan partai politik seakan benda langit yang jauh di angkasa, tak mungkin mereka gapai. Secara denotasi, politik dan partai politik adalah hal yang tidak akan menyatu dengan mereka.

Ketika pemikiran seperti itu menghinggapi masyarakat, maka apatisme kronis akan semakin menganga. Untuk apa memilih, untuk apa menyalurkan suara, dan untuk apa memuluskan langkah mereka ke lembaga legislatif.

Wakil di legislatif. Sebenarnya itulah alasan utama yang seharusnya dijadikan landasan untuk menggunakan hak pilih. Saat kita butuh ruang untuk berkeluh kesah mengenai hal-hal yang terjadi di negara ini, wakil-wakil tadi menjadi seharusnya menjadi pemecah solusi yang mampu diandalkan.

Namun, sudah tak dipungkiri lagi, mereka seakan menjalankan “kehidupannya” sendiri. Mereka acuh dengan dunianya sendiri. Lama-lama, ada suatu batas tembok yang sangat kuat antara partai politik dengan rakyat. Partai politik ya partai politik dengan urusannya sendiri. Rakyat ya rakyat dengan urusannya sendiri pula. Tak ada konektivitas, sinergi bersama untuk kemajuan bersama.

Melihat politisi dalam partai politik memang menyesakkan dada. Saat rakyat benar-benar butuh mereka, sangat sedikit perhatian dari mereka. Kini saat mereka butuh, mereka bermanis muka. Lalu kalau ada rakyat yang bilang,”Emang gue pikirin?”, bisakah rakyat disalahkan sepenuhnya?

Tak salah memang muak dengan politik dan partai politik. Tapi sadarlah bahwa kita hidup di negara demokrasi. Mau tak mau, suka tak suka, kita harus memilih salah satu diantara mereka. Kita masih bersyukur lho diberi kebebasan untuk memilih. Coba diandaikan, kita hidup di negara yang tanpa kebebasan untuk memilih. Semua ditentukan mutlak oleh penguasa. Saat ada hal tak enak, kita tak bisa berbuat banyak. Jika direnungkan lebih dalam, masih mending kondisi kita kan?

Memang sulit untuk memilih nanti. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Namun, dengan memilih, kita juga ikut andil dalam kemajuan bangsa ini. Memilih pemimpin yang berkualitas. Apatisme politik kronis memang sudah semakin parah. Maka dari itu, janganlah kita ikut menjadi apatis juga. Agar yang sudah kronis ini tak semakin kronis. Mari, gunakan hak pilih anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun