Berhasil-berhasil Hore!
Saya berteriak bak Dora The Explorer tatkala keluar dari “ruang ujian”. Akhirnya, proses akreditasi di sekolah saya sukses, diakhiri dengan visitasi para asesor akreditasi. Perjuangan panjang selama sebulan ini akhirnya terbayar sudah.
Akreditasi. Sebuah kata yang cukup horor jika didengar oleh para pelaku pendidikan, pelaku dunia kesehatan, dll. Bagi pelaku pendidikan, akreditasi menjadi salah satu tanda keberhasilan institusi pendidikan yang menaunginya. Sejauh mana sebuah lembaga pendidikan memenuhi tugas pokok dan fungsinya.
Kebetulan, saya bernaung di bawah sebuah lembaga sekolah dasar. Pada akreditasi kali ini, sekolah kami harus memenuhi instrumen akreditasi sesuai standar BSN S/M. Terbagi dalam 8 standar dan 157 instrumen. Seluruh instrumen tersebut berisi pertanyaan dan jawaban huruf A hingga E. Jika maka penillaian untuk standar tersebut sangat baik, jika B baik, dst hingga E. Pemilihan jawaban A hingga E harus sesuai dengan kondisi sebenarnya. Tentunya harus dibuktikan dengan bukti fisik.
Bukti fisik ini sih sebenarnya kalau saya baca dan renungkan lebih dalam adalah bukti fisik hasil pekerjaan kita sehari-hari. Jadi, saat akreditasi kita hanya perlu mengumpulkan bukti-bukti tersebut dan melabelinya sesuai instrumen yang dibutuhkan. Cuma, karena banyaknya pekerjaan di luar tupoksi kita, maka pekerjaan tersebut sering diabaikan.
Contohnya, bagi seorang guru, kalau ditanya tupoksinya antara lain merencanakan pembelajaran, melakukan pembelajaran, mengadakan evaluasi pembelajaran, menganilisis hasil evaluasi pembelajaran, dan memberikan penilaian hasil pembelajaran, disamping tupoksi lainnya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut tentunya disertai bukti fisik, seperti RPP, silabus, prota, promes, hasil analisis, dkk. Nah, jika seorang guru melakukan hal tersebut secara sistematis dan terencana, maka ketika akreditasi, segalanya sudah siap. Mungkin, pihak sekolah hanya menyiapkan hal-hal di luar dokumen tersebut yang masih kurang.
Namun, kenyataannya, akibat faktor X, entah itu rasa malas dari guru atau ada tugas tambahan lain, yang (bagi saya) tidak seharusnya dikerjakan para guru, tupoksi utama tadi menjadi terbengkalai. Entah harus mengurus pelaporan BOS, mengurus PUPNS, menghadiri acara ini-itu, dan sebagainya. Maka, ketika lonceng akreditasi sudah mendekat, rasanya bagai menunggu Malaikat Izrail datang.
Tugas yang seharusnya sudah selesai dan hanya tinggal menata ulang menjadi tugas segunung yang entah bisa atau tidak diselesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ibarat kata, kami harus membangun dua ribu candi yang dikerjakan dalam satu malam. Kalau membangun candi sih, masih ada perewangan yang membantu. Lha ini?
Yang bikin gengges sih, saya harus ngarang hal-hal, yang sebenarnya sudah kami lakukan, tapi tak tercatat dengan baik. Contoh sederhananya adalah mengenai undangan, notulen, dan daftar hadir rapat. Entah itu rapat guru, komite, wali murid, atau pengawas. Akibat ya tadi itu, bukti fisik yang kalau dikumpulkan secara berkala tak akan mungkin kami kelabakan.
Akhirnya, saya harus mengarang indah kapan rapat dilaksanakan, siapa saja yang hadir, dan yang paling sulit adalah mengarang mengenai isi rapat beserta diskusi di dalamnya. Dua hal terakhir sangat penting karena pada instrumen akreditasi harus dimunculkan isi rapat dan diskusi sesuai dengan amslaah yang dibahas.