Pandemi yang sudah berlangsung sampai entah ini memang membuat banyak orang tak bisa leluasa bersosialisasi.
Pertemuan dibatasi. Perjalanan keluar kota diperketat. Dan sederet aturan lain yang membuat kita tidak bisa terhubung dengan orang lain semudah sebelum pandemi. Bagi banyak orang, kini beragam teknologi yang memudahkan memang dapat membantu untuk tetap waras berkomunikasi dengan orang lain.
Ada yang sering melakukan video call, zoom, atau yang pernah ngetren beberapa bulan lalu yakni clubhouse. Semuanya memang dapat mendekatkan orang-orang yang jauh jaraknya dari kita tetapi memiliki hubungan yang hangat.
Sayangnya, ada beberapa orang -- termasuk saya -- yang tidak begitu suka terhubung dengan berbagai aplikasi atau media komunikasi semacam itu. Saya tidak begitu suka video call karena menurut saya jika sampai lupa waktu maka akan mengganggu konsentrasi. Demikian pula zoom yang setiap hari saya lakukan bersama murid saya dari pagi, siang, sore, dan malam.
Makanya, ketika saya memutuskan beristirahat, itu berarti saya tidak akan membuka zoom. Pun demikian dengan clubhouse yang sempat ramai dan menarik perhatian. Bagi saya, walau terlihat keren dan menarik, tetap saja eksklusivitas di dalammnya membuat saya tak tertarik. Terlebih, jika topik yang diperbincangkan tidak begitu saya minati. Mulai dari pamer investasi dan lain sebagainya.
Untungnya, untuk menjaga kewarasan saya, kegiatan blogwalking pun saya lakukan di blog pribadi. Bukannya saya mengecilkan peran Kompasiana, tetapi saya menemukan banyak kebahagiaan ketika bisa blogwalking di blog pribadi.
Bisa jadi, rekan-rekan blogger di blog pribadi lebih lepas dalam menuliskan apa yang mereka kerjakan dan mereka sukai. Mereka memang menggunakan media blog sebagai hobi dan kebanyakan sudah tidak peduli dengan istilah pagviews, pendapatan, dan lain sebagainya. Menulis ya hanya ingin melepas penat kemudian saling blogwalking ke sana ke mari.
Saya paling terhibur dengan cerita kehidupan mereka yang sepele mulai dari mengangkat jemuran, membetulkan plafon, berburu daster, atau cerita fiksi yang mereka karang. Kalau sudah menemukan ritme blogwalking, saya kerap ngakak se-ngakak-ngakaknya karena bahasa mereka yang unik.
Saya punya teman blogwalking bernama Mbak Nita. Ia biasa dipanggil mbak gembul karena pipinya yang tembem. Kalau ia sedang menulis blog, waduh bisa berhalaman-halaman jika disesuaikan dengan paginasi Kompasiana. Dari bangun tidur sampai tidur lagi ia ceritakan runtut. Berbagai foto, mulai masak, menyapu halaman, selfie, sampai entah apa saja yang ia kerjakan hadir di sana.
Ia yang juga kerap blogwalking ke sana ke mari juga kerap membuat komentar di blog saya yang bikin ngakak. Saya pun juga akan ikut ngakak kalau sedang blogwalking ke blog pribadinya. Sampai-sampai, saya ukur jika komentar kami saling berbalas bisa jadi satu tulisan penuh.
Lain pula dengan seorang beauty blogger bernama Mbak Roem. Jika kebanyakan beauty blogger lain kerap membahas produk kecantikan yang mahal dan saya engga ngerti, ia malah kerap membahas produk kecantikan yang umum dan familiar. Seperti bedak dan pembersih muka yang kerap digunakan oleh ibu saya atau bahkan pernah saya gunakan ketika masih bocah. Di setiap ulasannya, ia juga menyisipkan curcol ringan seputar harga skincare yang kadang bisa dipakai untuk makan beberapa hari atau hal lain yang membuat saya tidak tahan untuk memberikan komentar yang bikin ngakak.
Lain pula dengan Mas Agus Warteg yang kerap membuat cerpen berisikan tokoh-tokoh blogger yang kerap ia datangi. Cerpennya tentang kehidupan sehari-hari dan bertema horor komedi membuat blognya banyak disinggahi. Terlebih, ia kerap membuat penghabisan cerita di luar nalar yang juga bikin ngakak. Ceritanya pun kebanyakan berupa satire terhadap kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah yang dililit ekonomi.
Satu blogger terakhir yang membuat saya semangat menjalin komunikasi adalah Mas Hima. Ia berasal dari Magelang yang kerap menulis seputar wisata. Yang membuat saya heran adalah banyak sekali komentar blognya yang berasal dari blogger sleuruh dunia dengan berbagai bahasa. Ada bahasa Inggris, Spanyol, Portugis, dan bahasa-bahasa Eropa Timur yang saya tidak mengerti.
Entah bagaimana ia memulai sehingga banyak sekali komentar dari banyak bahasa tersbeut yang jelas saya akhirnya juga ikutan berkomunikasi dengan mereka. Saya menemukan banyak pola dari para blogger di berbagai belahan dunia. Kebanyakan mereka memang hanya menggunakan blog pribadi untuk hiburan atau memajang jepretan yang sudah mereka lakukan. Saya bisa terhubung dengan mereka meski harus menggunakan Google Translate untuk memahami isi blog mereka.
Dengan blogwalking, meski tidak seintens media komunikasi lain, tetapi saya benar-benar terhubung dengan rekan yang saya datangi. Saya bisa dekat mengenal karakter mereka walau kadang wajah mereka dengan jelas. Hal-hal receh yang mereka tulis bagi saya adalah kebahagiaan tersendiri karena saya bisa mengerti sisi lain yang tak saya dapat di kehidupan sehari-hari. Meski sekarang banyak sekali blogger yang mulai bergeser lebih memilih mendapatkan materi, tetapi keberadaan mereka, yang benar-benar menggunakan blog sebagai hobi adalah media bersosialisasi yang masih saya andalkan di masa pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H